Berkuasanya Soeharto, Amerika Sebut itu Upeti Terbesar dari Asia

Berkuasanya Soeharto, Amerika Sebut itu Upeti Terbesar dari Asia

Berkuasanya Soeharto, Amerika Sebut itu Upeti Terbesar dari Asia

Globalisasi di Asia memiliki sejarah yang gelap. Pabrik, bank-bank besar dan hotel mewah di Indonesia berkat pembunuhan massal lebih dari 1 juta manusia.

Peristiwa yang lebih suka dilupakan Barat. Tapi banyak orang disini tidak mungkin melupakannya.

Belakangan ini, masyarakat mulai mencari kerangka keluarga tercinta mereka yang dibunuh pada masa Jenderal Soeharto berkuasa atas bantuan Amerika dan Inggris di pertengahan 1960-an.

Sampai saat ini fakta tragedi itu masih tetap gelap. Ada beberapa foto yang diketahui mengenai kekejaman itu.

Orang-rang yang dituding Simpatisan PKI hendak di eksekusi tanpa melalui proses pengadilan
Orang-rang yang dituding Simpatisan PKI hendak di eksekusi tanpa melalui proses pengadilan
Sekelompok-orang-yang-diduga-simpatisan-PKI-dikumpulkan-dan-dijaga-tentara-di-sebuah-lubang-sebelum-dieksekusi-tanpa-pengadilan-1965.

John Pilger mengatakan suatu hari di bulan Oktober 1965, segerombolan preman memasuki sebuah sekolah di Jakarta lalu membunuh kepala sekolah yang dianggap komunis.

Pembunuhan semacam inilah tipikal pembantaian lebih dari satu juta orang, para guru, murid, pegawai negri, petani.

CIA melukiskannya sebagai salah satu pembantaian massal terkejam di abad 20, sebab-sebab terjadinya tragedi itu masih misteri.

Peristiwa itu menghantarkan Soeharto ke puncak kekuasaan, namun kini terbukti bahwa diam-diam soeharto disokong Amerika dan Inggris. serta para pebisnis Barat.

Setahun setelah peristiwa berdarah itu, perekonomian Indonesia dibentuk menurut model Amerika guna mempermudah Barat menguasai sumber mineral pasar dan buruh murah. Presiden Nixon menyebutnya “Upeti terbesar dari Asia”.

Jasa besar Soeharto bagi bisnis Barat adalah dirinya menyingkirkan pendiri bangsa Indonesia modern, Soekarno, seorang Nasionalis yang yakin pada kemandirian ekonomi rakyatnya.

Soekarno menentang masuknya korporasi Barat ke Indonesia dan mengusir agen-agen Barat seperti Bank Dunia dan Dana Moneter International (IMF).

Hanya karena salah satu Jenderalnya, soeharto berkuasa terbukalah pintu “Upeti terbesar dari Asia”.

Roland Challis, seorang Koresponden BBC 1964-1969, mengatakan, “Ketika rezim Soeharto berkuasa usai tragedi 1965 itu, mereka bisa melakukan apa saja dengan masuknya kembali IMF dan Bank Dunia”.

Katanya, mereka akan men-sejahterakan Indonesia. Inggris melakukan banyak propaganda bahwa IMF mampu membawa Indonesia pada kemakmuran.

Seorang Diplomat Inggris, yang masih hidup saat ini mengatakan semua itu adalah kesepakatan antara Soeharto dengan IMF dan pihak Barat.

Diam-diam, Inggris dan Amerika berkonspirasi mendukung Jenderal Soeharto. Duta besar Amerika mengaku bersimpati dan kagum akan “hasil kerja” Angkatan Darat.

Ribuan orang dikumpulkan. Rahasia-rahasia saat itu, diungkapkan oleh para pejabat Amerika pada saat ini. CIA memberika daftar berisi nama 5000 “musuh” dan pejabat Kedutaan memastikan nama-nama itu harus dibunuh.

Duta besar Inggris yang saat itu bernama Sir Andrew Gilchrist menganjurkan “tembakan kecil demi perubahan yang baik”.

Mulanya Inggris menyatakan tidak mengetahui apa yang sedang terjadi, tetapi tentu saja mereka mengetahui semua yang terjadi.

Jelas-jelas terlihat mayat-mayat yang dibuang dihalaman Konsulat Inggris di Surabaya, dan juga mayat-mayat yang terapung di selat Malaka, dsb.

Letkol Hadi Broto dan pasukannya bahkan ragu-ragu bergerak dari pantai Timur Laut Sumatera menuju Jawa Timur dan Jawa Tengah untuk ikut serta dalam pembantaian manusia yang mengerikan itu.

Ia melihat kapal Panama berisi pasukan menuju Selat Malaka yang dikawal dua kapal perang Inggris.

Media massa Amerika tidak memberitakan tragedi itu sebagai kejahatan kemanusiaan, tapi peristiwa demi keuntungan ekonomi Barat.

Majalah Time menyebutnya “Balas Dendam dengan Senyuman” dan “Berita terbaik Barat selama bertahun-tahun.”

Media lain menggambarkannya sebagai “Seberkas cahaya redup di Asia”, Benih globalisasi ditanam diatas genangan darah.

Ditahun 1967, perusahaan Timelife mengadakan sebuah konferensi di Swiss yang merencanakan pengambilalihan bisnis Indonesia. Konferensi ini dihadiri oleh para pebisnis besar dan terkuat di dunia, misalnya David Rockefeller.

Raksasa kapitalisme Barat diwakili oleh perusahaan minyak, Bank, General Motors, British Lyeland, ICI, British American Tobacco, Leman Brothers, American Express, Siemens.

Diseberang meja dalam Konferensi hadir para pemimpin Indonesia yang dikirim Soeharto. Bagi dunia Bisnis Barat, hal ini merupakan awalan yang baik menuju globalisasi.

Tidak seorangpun berbicara mengenai pembantaian satu juta manusia itu.

Jeffrey Winters seorang ilmuwan di Universitas Northwestern di Amerika, mengatakan, “situasi semacam itu belum pernah saya dengar sebelumnya dimanapun ketika pengusaha seluruh dunia bertemu untuk sebuah negara dan menentukan prasyaratnya untuk masuk ke sebuah negara itu”.

Konferensi itu berlangsung tiga hari. Hari pertama wakil Indonesia tampil memberikan uraiannya.

Dihari kedua, mereka membaginya menjadi lima: pertemuan sektoral, pertambangan, jasa makanan, industri ringan, perbankan dan keuangan. Chase Manhattan juga hadir disana, kemudian mereka menyusun kebijakan yang menguntungkan investor sedunia itu untuk masuk ke setiap sektor.

Mereka berkata kepada para pemimpin Indonesia, “Inilah yang perlu kami lakukan, ini, ini, ini, …”, kemudian mereka menyusun infrasstruktur hukum untuk kepentingan investasi mereka di Indonesia.

Ditanyakan apakah komunitas bisnis itu sadar bahwa mereka tidak hanya berhadapan dengan diktator nepotis korup tapi juga pembunuh berdarah dingin?

John Arnold, ketua KADIN Inggris di Jakarta menjawab dengan terputus-putus,”Kenyataannya kan banyak orang Indonesia mati tragis… langsung atau tidak hasil dari rezim orde lama yang buruk, Jika investasi asing tidak masuk disini, apakah bisa mencegah terjadinya peristiwa itu… tak seorangpun memiliki penglihatan sempurna atas apa yang mungkin terjadi”.

Globalisasi dimulai di Inggris di tahun 1980-an. Saat itu Margaret Thatcher membongkar banyak pabrik.. dan membangun industri pabrik dengan menelan biaya sebesar Rp 14 milyar saat itu. Indonesia menjadi pasar senjata Inggris yang penting, Soeharto membeli semua senjata mematikan dari pesawat tempur dan misil, sampai kapal perang serta senapan mesin.

Masyarakat Inggris tidak tahu bahwa milyaran rupiah berpindah ke kantong diktator itu dalam bentuk kredit ekspor. Artinya, sebagian besar tagihan senjatanya dibayar oleh pembayar pajak di Inggris.

Betapa pentingnya Soeharto sebagai rekan bisnis… hingga pembunuh berdarah dingin ini diundang ke London oleh Ratu Inggris.

 

Untuk tayangan utuh bisa di lihat di youtube dengan judul The New rulers of The World hasil garapan John Pilger, namun sayangnya belum ada subtitle Indonesianya.

 

 

Baca juga : Pembantaian Massal Saat Malam Jahanam di Hutan Jati Jeglong

 

 

Sumber berita Berkuasanya Soeharto, Amerika Sebut itu Upeti Terbesar dari Asia dari Video Youtube : The New rulers of The World