Investigasi Allan Nairn: Ahok Hanyalah Dalih untuk Makar (bagian 4)

Investigasi Allan Nairn: Ahok Hanyalah Dalih untuk Makar (bagian 4)

Investigasi Allan Nairn: Ahok Hanyalah Dalih untuk Makar (bagian 4)

Sebelum melanjutkan artikel berita bagian 4 ini, ada baiknya bila belum membaca bagian 1, 2 dan 3, silahkan baca dulu biar nyambung jalan ceritanya, silahkan baca dibawah ini.

Baca juga : Investigasi Allan Nairn: Ahok Hanyalah Dalih untuk Makar (bagian 1)

Baca juga : Investigasi Allan Nairn: Ahok Hanyalah Dalih untuk Makar (bagian 2)

Baca juga : Investigasi Allan Nairn: Ahok Hanyalah Dalih untuk Makar (bagian 3)

1965, Lagi

Segera setelah wawancara kami selesai, saya menerima dokumen dari seorang perwira militer, yang bisa dianggap sebagai template untuk komentar-komentar Khaththath dan Usamah tentang aksi-aksi jalan. Berjudul “Analisis Ancaman Komunis Gaya Baru di Indonesia”, dokumen ini ialah rangkaian salindia powerpoint yang digunakan sebagai materi pelatihan ideologis di tangsi-tangsi militer seantero Indonesia.

Komunisme Gaya Baru, disingkat KGB, adalah sebuah konsep yang mengisahkan ancaman komunis melalui cerita-cerita tentang sosok Stalin, Pol Pot, dan Hitler—dan tampaknya ancaman ini cukup luas sampai-sampai mencakup siapa pun yang mengkritik TNI.

Mengacu pada kebijakan yang dituding berwatak komunis seperti “program kesehatan dan pendidikan gratis,” dokumen itu mencela “pluralisme dan keragaman dalam sistem sosial” sebagai ancaman khas “KGB” yang sedang pasang di Indonesia. Dengan menggunakan teknik penilaian ancaman (threat assessment techniques) yang diambil dari nukilan-nukilan doktrin dan teks intelijen Barat—kadang ditulis dalam bahasa Inggris—dokumen ini memperingatkan kaum komunis “sedang memisahkan tentara dari rakyat” dan “memanfaatkan isu-isu hak asasi manusia dan demokrasi, seraya memosisikan diri sebagai korban demi meraih simpati.”

Pernyataan tentang korban-korban pelanggaran HAM jelas merujuk pada tokoh-tokoh seperti Munir Said Thalib, teman saya, seorang pembela keadilan sosial yang brilian, yang dibunuh pada 2004 dengan dosis besar arsenik yang menyebabkan ia muntah sampai mati dalam sebuah penerbangan ke Amsterdam; atau korban pembantaian 1965 yang berjumlah sekitar satu juta warga sipil, yang dibunuh oleh tentara dengan dukungan AS dalam rangka mengonsolidasikan kekuasaan setelah percobaan kudeta.

Ihwal pembantaian 1965 muncul ketika saya berbincang dengan Jenderal (Purn) Kivlan Zen, yang mengatakan jika Jokowi menolak tunduk pada keinginan tentara, taktik serupa bisa dikerahkan lagi.

Sebagaimana banyak pejabat yang sempat berbincang dengan saya, Kivlan menyatakan gerakan jalanan yang didukung tentara dan krisis saat ini buntut dari Simposium 1965, yang memungkinkan penyintas dan keturunan korban ’65 untuk membicarakan secara terbuka atas apa yang telah menimpa mereka dan menceritakan bagaimana orang-orang yang mereka cintai meninggal.

Bagi sebagian besar tentara, simposium itu adalah kekurangajaran yang tak bisa diterima dan dengan sendirinya menjustifikasi gerakan kudeta. Seorang jenderal mengatakan kepada saya, yang paling membuat marah rekan-rekannya adalah karena simposium itu “menyenangkan korban.” Simposium itu, tentu saja, tidak ada hubungannya dengan Gubernur Ahok atau persoalan agama mana pun, melainkan soal tentara dan kejahatannya.

“Kalau bukan karena Simposium itu, gerakan seperti sekarang ini tidak akan ada,” kata Kivlan. “Sekarang komunis sedang bangkit lagi,” keluh Kivlan. ”Mereka ingin mendirikan partai komunis baru. Para korban ’65, mereka semua menyalahkan kami…. Mungkin kita akan lawan mereka lagi, seperti tahun ’65.”

Saya terkejut dengan pernyataan itu. Saya ingin memastikan saya tidak keliru mendengarnya.

“Bisa saja terjadi, ’65 bisa terulang lagi,” ulang Kivlan.

Alasannya?

“Mereka mencari keadilan yang setimpal.”

Dengan kata lain, Kivlan sedang membangkitkan momok baru pembantaian massal jika korban tidak berusaha melupakan. Kivlan menjelaskan secara rinci mengapa kudeta ’65 dibenarkan. Dia mengatakan presiden yang digulingkan, Sukarno, yang saat itu ‘ditawan’ oleh tentara, telah memberikan perintah kepada angkatan bersenjata untuk mengambil alih kekuasaan. Dan parlemen telah “menyerahkan kekuasaan” kepada Angkatan Bersenjata.

Saya bertanya, mungkinkah itu terjadi lagi sekarang?

“Bisa saja,” jawabnya. “Tentara bisa bergerak lagi sekarang, seperti Soeharto di era itu.”

Kivlan mengatakan kepada saya bahwa Juli lalu, setelah Simposium, Jokowi mengunjungi markas TNI dan menyatakan kepada para jenderal yang berkumpul saat itu bahwa “ia tidak akan meminta maaf kepada PKI.”

“Jika Jokowi tetap berada di jalur itu”—sikap tidak meminta maaf—”Dia tidak akan digulingkan. Dia akan selamat. Tapi jika dia meminta maaf: [dia] Selesai, tamat,” kata Kivlan.

Saya ingin memastikan kembali apakah dia benar-benar mengatakan bahwa tentara akan bertindak seperti di tahun ’65 lagi.

“Ya, untuk mengamankan situasi, termasuk seperti tindakan di tahun ’65.”

“No say surrender,” pungkasnya, dalam bahasa Inggris.

Meskipun Kivlan dipandang sebagai golongan yang cenderung ideologis di antara para jenderal, perlu dicatat bahwa banyak rekannya mulai kasak-kusuk menggulingkan Jokowi sekalipun Jokowi tidak meminta maaf. Dalam hal ini, Kivlan termasuk dalam sayap moderat. Yang luar biasa, usulan minta maaf kepada korban ternyata cukup membuat para jenderal kebakaran jenggot untuk menggulingkan presiden.

Kivlan sering disebut-sebut sebagai salah satu orang yang berjasa menciptakan FPI setelah Soeharto jatuh. Dalam percakapan kami, Kivlan membantah ikut bertanggung jawab merancang FPI, tapi dia terus membahas secara rinci bagaimana kelompok tersebut hanyalah salah satu contoh yang lebih luas dari strategi tentara dan polisi untuk menciptakan kelompok-kelompok sipil binaan—yang kadang bercirikan Islam, kadang tidak—yang dapat digunakan untuk menyerang para pembangkang seraya mencuci tangan aparat.

Kivlan menyatakan bahwa beberapa hari sebelum demonstrasi besar-besaran di Jakarta pada 4 November 2016, ia menerima pesan teks dari Mayjen (Purn) Budi Sugiana yang memintanya “untuk ikut serta dan mengambil alih gerakan 411.”

Misinya, kata Kivlan, “untuk menyelamatkan Indonesia,” dengan bergabung bersama pemimpin FPI Habib Rizieq di atas mobil komando selama demonstrasi, karena “mereka butuh orang untuk mengambil alih massa [di luar istana], seandainya [Rizieq] ditembak dan mati.”

Pada Desember 2016, Kivlan ditangkap polisi atas tuduhan menggulingkan Jokowi. Namun, ketika kami berbincang pada akhir Februari, dia tetap saja bebas dan bahkan melancong ke luar negeri. Dia malah menyatakan sedang melaksanakan suatu misi untuk Jenderal Gatot Nurmantyo, Panglima TNI saat ini, yakni berupaya membebaskan para sandera Indonesia di Filipina.

Soal pertanyaan siapa yang diam-diam membekingi gerakan tersebut dan siapa yang betulan “komunis”, Kivlan berbicara secara on-the-record dan off-the-record, secara persis dan umum. Karakterisasinya atas sikap kawan-kawannya sesama jenderal sangat berkaitan erat dengan sikap aparat lain yang banyak diceritakan orang. Namun, tidak seperti kebanyakan dari mereka, Kivlan mengatakannya secara on-the-record.

“Begitu banyak pensiunan militer—dan yang masih aktif dalam militer—yang bersama FPI … Karena FPI pun bertujuan melawan komunis.”

Setelah apa yang dia bicarakan tentang penggulingan Jokowi dan mengambil tindakan seperti pada tahun ’65, saya bertanya: Apakah Jenderal Gatot—Panglima TNI saat ini—setuju?

“Dia setuju!”

Tapi dia pun menambahkan, sebagai perwira yang masih aktif, Gatot harus “sangat berhati-hati” mengambil sikap di depan publik.

Pernyataan on-the-record Jenderal Kivlan tentang peran Gatot konsisten dengan jenderal-jenderal lain dan para penggerak kudeta, serta dengan pernyataan yang diduga bersumber dari Presiden Jokowi sendiri. Saya pun bertanya kepada seorang pejabat yang memiliki akses rutin ke presiden tentang klaim yang dilontarkan Jokowi, “Apakah Gatot merupakan faktor utama dalam kudeta tersebut?” Pejabat itu menjawab, ya, presiden mengatakan itu, dalam pertemuan tertutup. Gatot tidak merespons permintaan tanggapan untuk artikel ini.

Mengenai bos lamanya, Prabowo, Kivlan berkata: “Dia tak mau dekat-dekat, tetapi dia terlibat melalui Fadli Zon.” Prabowo akan kesulitan jika terlihat mesra dengan gerakan itu. Sedangkan mengenai menteri pertahanan Ryamizard Ryacudu, Kivlan bilang “hatinya setuju dengan tujuan kami, tetapi tidak dapat bicara.”

Kivlan memuji cara Wiranto menempatkan diri. “Wiranto bagus,” katanya, “karena dia mau bikin harmoni dengan gerakan” dan memperjuangkan kepentingan mereka dalam kapasitasnya selaku Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.

Kivlan menambahkan bahwa Wiranto, yang terancam dakwaan kejahatan perang di Timor Leste, punya rencana bagus untuk perkara genting yang dihadapi tentara. Ia mendesak Jokowi supaya “tak ada pengadilan HAM.”

Elegannya strategi mendorong kudeta itu adalah militer akan menang sekalipun kudeta gagal. Meski Jokowi tetap menjabat presiden, para jenderal akan aman—menurut mereka—dari pengadilan HAM. Sebab, untuk menyingkirkan segerombolan pembunuh, presiden harus merangkul kumpulan jenderal yang tak kalah bengisnya.

Yang terdepan di antara mereka adalah A.M. Hendropriyono, mantan Kepala BIN dan aset CIA, yang terlibat dalam pembunuhan Munir serta serangkaian kejahatan besar lain. Sepanjang krisis ini, orang-orang Hendro-lah (tentara, intelijen, polisi, sipil) yang mengepalai benteng pelindung Jokowi. Orang-orang Hendro-lah yang mengatur penangkapan-penangkapan atas nama kudeta dan memincangkan Rizieq Shihab dengan skandal bokep, juga menghajar sumber-sumber dana gerakan dengan tuduhan pencucian uang ISIS.

Gantinya, Hendro dan konco-konconya memperoleh jaminan kekebalan dari peradilan. Dan dalam aturan aparat, jika mereka aman, semua orang aman. Ada persetujuan diam-diam untuk menolak persekusi terhadap rekan, sekalipun jika kedua pihak bermusuhan.

Pada Februari 2017, di bawah tekanan istana, pengadilan administrasi Jakarta menyatakan bahwa pemerintahan Jokowi bisa menghindari kewajiban hukum merilis laporan tim pencari fakta yang secara terbuka membahas tanggung jawab Hendropriyono dalam perkara pembunuhan Munir. Janda Munir, Suciwati, dan Haris Azhar dari Kontras, mengecam vonis itu dan menyebutnya sebagai usaha “melegalkan kriminalitas”.

Dengan gaya yang mirip, gerakan kudeta juga telah membantu Freeport. Sejak tahun lalu, pemerintah Jokowi berupaya menulis ulang kontrak negara dengan Freeport dan mengembalikan hak ekspor mereka. Pada saat yang sama, pemerintah diguncang oleh gerakan yang dipimpin pengacara yang bekerja untuk Freeport.

Pada awal April, setelah gerakan permulaan yang polisi klaim sebagai empat upaya merebut DPR dan Istana, pemerintahan Jokowi mengejutkan dunia politik Indonesia dengan tiba-tiba menyerah kepada Freeport dan memberi lampu hijau ekspor tembaga baru. Mundur tiba-tiba tidak membuat sengketa selesai—lebih dalam lagi, isu mengenai kontrak masih tersisa—tetapi, seperti yang dikatakan pejabat Jokowi kepada saya, pemerintah saat ini merasa posisinya melemah.

Dalam sebuah cerita yang berjudul lucu, “Freeport mendapat karpet merah, sekali lagi,” The Jakarta Post menulis: “Pemerintah berusaha membela keputusannya, meskipun tidak ada dasar hukum yang membelakanginya … Freeport dinilai telah menghindari peluru lagi.”

Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence akan mengunjungi Indonesia pada 20 April. Staf-staf pemerintahan Jokowi menduga, berbisik-bisik, bahwa tuntutan-tuntutan Freeport akan jadi prioritas utamanya. Salah seorang tokoh gerakan, dalam pertemuan kami Jumat lalu, menatap saya dan berseru: “Pence bakal mengancam Jokowi soal Freeport!”

Freeport Indonesia tidak menanggapi permintaan konfirmasi.

( bersambung… )

 

 

Sumber berita Investigasi Allan Nairn: Ahok Hanyalah Dalih untuk Makar (bagian 4) : tirto.id