Peran Tionghoa, Arab, dan Belanda dalam Sidang Kelahiran Pancasila

Peran Tionghoa, Arab, dan Belanda dalam Sidang Kelahiran Pancasila

Peran Tionghoa, Arab, dan Belanda dalam Sidang Kelahiran Pancasila

Sudah sejak dahulu kala ada beragam suku dan agama di Nusantara yang kini menjadi Indonesia. Perbedaan ini pun mewarnai sidang Badan Penyelidik Upaya Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945.

BPUPKI diketuai oleh dr Radjiman Wedyodiningrat dan 62 anggota lainnya. Keanggotaan BPUPKI juga dipilih yang mewakili beragam golongan.

Sejarawan UGM Didi Kwartanada menulis dalam kolom yang dimuat detikcom pada Selasa, 4 Februari 2014, bahwa ada 4 perwakilan Tionghoa, 1 perwakilan keturunan Arab, dan 1 perwakilan keturunan Belanda. “Keempat tokoh Tionghoa tersebut adalah: Liem Koen Hian yang pada tahun itu berusia 38 tahun, Oey Tiang Tjoei (52), Oei Tjong Hauw (41), MR Tan Eng Hoa (38), sedangkan wakil dari golongan Arab adalah AR Baswedan, peranakan Belanda PF Dahler,” tulis Didi.

Tak banyak literatur yang menuliskan apa peran mereka dalam sidang BPUPKI. Anggota BPUPKI yang kemudian menjadi Presiden pertama RI Sukarno bercerita bahwa dialah yang memilih orang-orang tersebut agar jadi anggota BPUPKI.

“Tokoh-tokoh terkemuka dari seluruh kepulauan–aku yang memilihnya dan kemudian disetujui oleh Jepang–menghadiri sidang dengan masing-masing sebelumnya membuat rencana, aturan dan usul-usul berisi tetek bengek yang menyiksa. Tidak ada yang melakukan koordinasi dengan yang lain. Orang-orang terpelajar yang berpikiran sempit dari Jawa, para pedagang dari Sumatera, para penduduk di pulau-pulau perbatasan, masing-masing tidak memiliki dasar pemikiran yang sama,” tutur Sukarno seperti diceritakan kepada Cindy Adams yang dibukukan dengan judul ‘Penyambung Lidah Rakyat Indonesia’.

Bung Karno bercerita bagaimana nuansa perbedaan sangat kental terasa. Bahkan ketika masuk waktu istirahat, masing-masing anggota hanya berkumpul dengan yang segolongan atau pun sepemikiran saja.

“Kelompok Islam melakukan pertemuan sendiri, kelompok kebangsaan melakukan pertemuan sendiri, kaum federalis dan pendukung negara kesatuan melakukan pertemuannya masing-masing (…) Kaum Islam yang ortodoks mendorong bentuk negara berdasarkan Islam. Ada lagi kelompok moderat yang berpandangan bahwa kami sama sekali belum matang untuk memerintah sendiri. Terjadilah silang pendapat yang sengit tanpa ada titik temunya,” ujar Sukarno seperti dalam buku yang pertama kali dicetak pada tahun 1965 tersebut.

Selama tiga hari, kata Sukarno, terjadi perdebatan tanpa ujung tentang dasar negara. Hingga akhirnya Sukarno mengemukakan pandangannya tentang Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merdeka.

Ada 3 tokoh yang mengemukakan pandangan tentang dasar negara di sidang BPUPKI. Mereka adalah Muhammad Yamin, Soepomo, dan Sukarno.

Yamin pada pidato pertamanya tanggal 29 Mei 1945 lebih menjabarkan tentang sejarah bangsa Indonesia yang dimulai dari era kerajaan. Maka itu dia menyatakan bahwa Indonesia haruslah menjadi negara kebangsaan.

Dia tak menyinggung tentang adanya suku bangsa lain di luar wilayah Indonesia pada pidato pertama. Namun di pidato kedua pada tanggal 31 Mei 1945, dia menyebutkan ada keinginan suku Tionghoa, keturunan Belanda, dan lainnya ingin bersatu dengan suku bangsa asli Indonesia.

“Seluruh tanah Malaya saya ketahui hendak bersatu dengan daerah yang delapan. Di manakah suara Tuan Haji Agoes Salim, anak Riau Semenanjung Malaka; Tuan Dahler yang telah minum air Minangkabau tanah Bangkinang; Tuan Lim Koen Hian, anak Banjar pengembaraan Sumatera, keluarkanlah pendapat kalian!” kata Yamin kala itu seperti dikutip dari buku Kumpulan Pidato BPUPKI terbitan Media Pressindo tahun 2006.

Saat itu Yamin tengah memaparkan soal wilayah Indonesia. Yamin juga memasukan Malaka (kini Malaysia dan Singapura) dan Borneo Utara (kini Malaysia dan Brunei Darussalam).

Sementara itu Soepomo memasukkan soal keberagaman dalam pidatonya tentang dasar negara pada tanggal 31 Mei 1945. Menurutnya siapa pun yang ada di wilayah Indonesia dan ingin bersatu, maka berhak mendapat pengakuan sebagai bangsa Indonesia.

“Pada dasarnya ialah sebagai warga negara yang mempunyai kebangsaan Indonesia, dengan sendirinya bangsa Indonesia asli. Bangsa peranakan, Tionghoa, India, Arab yang telah berturun-temurun tinggal di Indonesia dan baru saja diuraikan oleh anggota yang terhormat Dahler, mempunyai kehendak yang sungguh-sungguh untuk turut bersatu dengan bangsa Indonesia asli; harus diterima sebagai warga negara dengan kebangsaan Indonesia,” papar Soepomo.

Dari pidato Soepomo ini terungkap peran Dahler yang telah memaparkan keberagaman suku bangsa di Indonesia. Bukan hanya suku asli atau pribumi, tapi banyak juga pendatang yang telah tinggal turun temurun.

Soepomo hanya memberi catatan bahwa jangan sampai ada yang memiliki kewarganegaraan ganda. Selain itu dia juga menekankan jangan sampai ada yang kehilangan kewarganegaraan.

Akhirnya Sukarno menutup pembahasan tentang dasar negara dengan pidato yang kemudian diberi judul Lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945. Di pidatonya itu dia memaparkan tentang kebangsaan.

“Bangsa Indonesia, natie Indonesia, bukanlah sekadar satu golongan orang yang hidup dengan ‘le desir d’etre ensemble’ (keinginan untuk bersama, -red), daerah yang kecil seperti Minangkabau atau Madura atau Yogya atau Sunda atau Bugis tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah SWT tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian! Seluruhnya!” ujar Sukarno kala itu.

Sukarno mengatakan bahwa kebangsaan Indonesia bukanlah kebangsaan Jawa, Sumatera, Borneo (Kalimantan), Celebes (Sulawesi), dan lainnya saja. Tetapi kebangsaan Indonesia adalah bulat sebagai Bangsa Indonesia itu sendiri yang telah bersatu.

“Maaf, Tuan Liem Koen Hian, Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan Fuku-Kaityoo, Tuan menjawab ‘Saya tidak mau akan kebangsaan’…” kata Sukarno.

Lalu Koen Hian pun menyanggah pernyataan Sukarno. “Bukan begitu, ada sambungannya lagi,” kata dia.

“Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih karena Tuan Lim Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. (…) Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang kena penyakit kosmopolitisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya ‘menschheid’ (atau) ‘perikemanusiaan’. Tetapi Dr Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa ada kebangsaan Tionghoa,” tutur Bung Karno.

Bung Karno hendak menyampaikan bahwa kebangsaan Indonesia nantinya jangan sampai bersifat chauvinisme. Bangsa Indonesia harus sadar akan adanya masyarakat internasional sehingga harus menjunjung nilai kemanusiaan.

“Jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormatnya berterima kasih kepada Dr Sun Yat Sen,” ungkap Sukarno yang kemudian disambut tepuk tangan oleh para anggota BPUPKI dari perwakilan Tionghoa.

Lebih lanjut mengenai peran perwakilan Tionghoa dalam BPUPKI diceritakan oleh sejarawan Didi Kwartanada. Liem bersuara paling keras memperjuangkan agar warga Tionghoa peranakan bisa menjadi warga negara Indonesia, selain itu dia pula yang mengusulkan tentang kebebasan pers untuk masuk ke rancangan UUD BPUPKI.

Sementara itu Tan Eng Hoa mengusulkan pasal kemerdekaan berserikat masuk ke UUD. Akhirnya masuklah usulan Tan dalam Pasal 28 UUD ’45.

Kemudian Abdurrahman Baswedan atau AR Baswedan, meski tak banyak literatur yang menceritakan perannya di BPUPKI, tetapi dia adalah tokoh yang mempersatukan komunitas keturunan Arab agar bergabung ke Indonesia.

 

Baca juga : Pidato Lengkap Jokowi di Peringatan Hari Lahir Pancasila

 

 

Sumber berita Peran Tionghoa, Arab, dan Belanda dalam Sidang Kelahiran Pancasila : detik