Soeharto: “Agama ya agama, Pancasila ya Pancasila”

Soeharto: "Agama ya agama, Pancasila ya Pancasila"

Soeharto: “Agama ya agama, Pancasila ya Pancasila”

18 Maret 1982, meletus bentrokan antara para simpatisan PPP dengan pendukung Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta. Seperti api yang menjalar, kerusuhan segera merembet ke luar lapangan. Sejumlah toko dijarah, mobil-mobil dan gedung. Buntutnya, 318 orang ditangkap, 274 orang di antaranya pelajar SD hingga SMA.

Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraan di DPR, 16 Agustus 1982 menilai bentrokan itu terjadi karena adanya perbedaan ideologi. Ia ingin agar partai maupun organisasi kemasyarakatan menggunakan asas atau ideologi yang sama: Pancasila. Keinginan Soeharto itu kembali disuarakan dalam acara halal-bihalal dengan Perwira ABRI, 17 Juli 1983, rapat dengan Pengurus Pusat Pepabri, 26 Juli 1983, dan saat menerima DPP KNPI di Bina Graha, 20 September 1983.

“Pancasila tidak akan mengurangi arti dan peran agama dalam kehidupan berbangsa dan negara,” ujarnya menegaskan dalam sebuah acara, Desember 1983, seperti tertuang dalam buku ‘Sang Penjaga Tauhid: Studi Protes Tirani Kekuasaan 1982-1985’. Soeharto yakin, tulis Fikrul Hanif Sufyan dalam buku itu, Pancasila sebagai asas politik dan kemasyarakatan akan mampu menciptakan masyarakat yang sosialistis dan religius.

Menteri Agama Munawir Sjazali kala itu ikut meyakinkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Pancasila, kata Munawir, dalam rapat kerja dengan MUI, 5 Maret 1984, tak dapat disejajarkan dengan Islam, sebab ia adalah asas hidup bersama yang disepakati dengan pemeluk agama lain.

Hal itu ditempuh karena banyak tokoh dan ulama yang menolak penerapan asas tunggal itu, termasuk di kalangan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Di lingkungan NU, ada sosok KH As’ad Syamsul Arifin selaku Rais Aam yang kemudian berperan penting menjadikan NU sebagai ormas Islam yang pertama menerima asas tunggal Pancasila. Sebelum itu, As’ad menemui Soeharto di kediamannya, Jalan Cendana.

KH As’ad Syamsul Arifin bersama Soeharto (Foto: Dok. Istimewa)

“Apa mau menerapkan Pancasila sebagai agama terus membuang Islam dan lain-lain? Kalau Pancasila ditempatkan sebagai agama, kita berpisah sampai di sini,” kata As’ad menyampaikan aspirasi dan kegelisahan para kiai dengan tegas.

Soeharto tersentak. Ia menjamin Pancasila tidak akan dijadikan agama atau agama dijadikan Pancasila. Tapi Pancasila akan menjadi semacam pintu gerbang untuk masuknya semua agama, semua komponen bangsa, untuk bersama-sama membangun bangsa. “Agama ya agama, Pancasila ya Pancasila,” timpal Soeharto.

Dengan penjelasan tersebut, As’ad akhirnya mafhum. Ia menegaskan pendirian NU yang siap menerima Pancasila. Sebab, sejak semula NU memang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. “Islam wajib menerima Pancasila, dan haram hukumnya bila menolak. Sila pertama itu selaras dengan doktrin tauhid, qul huwallahu ahad (Katakanlah bahwa Dia adalah Allah, (Tuhan) Yang Maha Esa),” tutur As’ad.

Penafsiran Pancasila pun harus dikaitkan dengan pembukaan UUD 1945 alinea ketiga: Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa. Karena itu, menurut As’ad, kita sebaiknya tidak memisahkan keyakinan tauhid umat Islam dengan pembukaan UUD 1945 dan Pancasila. Sebab, kalau umat Islam menafsirkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa berlainan dengan akidah tauhid, murtadlah dia!

Indonesia, ia menegaskan, tidak perlu menjadi negara Islam. Namun, kalau masyarakat menjalankan nilai-nilai syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari mereka, hal ini menjadi idaman bagi setiap muslim. Karena itu, “Pancasila bisa menjadi potret ‘Piagam Madinah’ di zaman modern ini. Insya Allah akan ditiru oleh negara-negara lain,” tuturnya.

Sebelum menemui Soeharto, As’ad termasuk yang tidak senang dengan niat penguasa Orde Baru itu. Sikapnya melunak dan akomodatif setelah berdiskusi dengan dua kiai muda, KH Achmad Siddiq dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), cucu pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari.

“Tak usah khawatir, Kiai, Pancasila tidak akan menggantikan Islam dan Pancasila tidak akan melawan Islam,” kata Gus Dur seperti ditulis Syamsul A. Hasan dalam bukunya, Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat.

Dukungan NU terhadap konsep asas tunggal Pancasila akhirnya diteguhkan dalam Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada 1984.

Muhammadiyah, menurut Fikrul, menjadi ormas terakhir yang menerima asas tunggal Pancasila. Sementara di tubuh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), penerimaan diikuti dengan munculnya HMI Majelis Penyelamat Organsisasi (HMI-MPO).

Sebelum terjadi kontroversi terkait asas tunggal Pancasila, sejumlah tokoh dan ormas Islam juga sempat dibuat resah dan berhadapan dengan pemerintah terkait buku Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Buku itu menyatakan “Semua agama pada hakikatnya sama baik dan sama benarnya.”

Ketua MUI Buya Hamka dan tokoh Masyumi M. Natsir memprotes keras buku tersebut. Sebaliknya pemerintah, dalam hal ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef menilai mereka yang kontra PMP sama dengan menolak Pancasila.

Melihat kondisi yang kian tak kondusif, Kiai As’ad menemui Presiden Soeharto. Tak lama kemudian, menurut Zaini Mun’im Ridwan, Ketua Tim Relawan Pencari Data, Fakta, dan Saksi Sejarah Perjuangan KHR As’ad Syamsul Arifin, buku itu akhirnya mengalami revisi redaksi. Revisi dimaksud berbunyi, “Bahwa semua agama pada hakikatnya sama baiknya menurut keyakinan pemeluknya masing-masing.”

 

Baca juga : LSI Denny JA, 72,8% Umat Muslim Indonesia Pilih Demokrasi Pancasila

 

 

Sumber berita Soeharto: “Agama ya agama, Pancasila ya Pancasila” : detik