Polisi Buru Pelaku Kekerasan dan Rintangi Tugas Jurnalis saat Munajat 212
Polisi telah menerima laporan terkait dugaan kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis saat acara Munajat 212 di Monas, Jakarta Pusat, Kamis (21/2) malam. Laporan tersebut dibuat oleh wartawan detikcom, Satria Kusuma, yang turut menjadi korban.
Kasubag Humas Polres Metro Jakarta Pusat, Kompol Purwadi, mengatakan saat ini polisi masih mengejar pelaku. Polisi juga masih mencari bukti-bukti terkait peristiwa tersebut.
“Ya masih (dikejar). Kan itu orang banyak indikasinya kan yang itu yang sesuai dengan yang diberitakan oleh itu (media),” kata Purwadi saat dikonfirmasi, Jumat (22/2).
“Malam kan waktu kejadian itu, ada anggota (polisi) enggak di situ, ada enggak film-film atau foto-foto yang ngambil dari teman-teman wartawan sebagai barang bukti, dan lain-lain. Itulah kita butuh dokumentasi itu untuk bisa ungkap karena kan korban juga enggak tahu itu ciri-cirinya,” imbuhnya.
Purwadi menjelaskan laporan tersebut tercatat dengan nomor 358/K/II/2019/RESTRO JAKPUS. Laporan itu dibuat di Polres Jakarta Pusat pada Jumat (22/2) sekitar pukul 00.15 WIB.
“Sementara, pasal yang dikenakan Pasal 170 KUHP. Bersama-sama di muka umum melakukan kekerasan terhadap orang atau barang,” kata Purwadi.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mengecam aksi kekerasan dan intimidasi oleh massa terhadap jurnalis yang sedang liputan. AJI menganggap tindakan massa menghapus rekaman video maupun foto dari kamera jurnalis CNN Indonesia TV dan detikcom adalah perbuatan melawan hukum.
“Mereka telah menghalang-halangi kerja jurnalis untuk memenuhi hak publik dalam memperoleh informasi,” ujar Ketua AJI Jakarta, Asnil Bambani Amri, dalam keterangan tertulis, Jumat (22/2).
Kecaman juga datang dari Sekjen PDIP Hasto Kritiyanto yang menilai tindak kekerasan terhadap jurnalis di Munajat 212 menggambarkan bagaimana pendukung paslon 02 memperlakukan wartawan. Padahal, menurut Hasto, wartawan merupakan pilar keempat demokrasi.
“Apa pun kekerasan tidak dibenarkan, apalagi terhadap insan pers. Sama sekali tidak dibenarkan. Mereka tidak memahami, pers adalah kekuatan keempat yang menjaga kualitas demokrasi,” kata Hasto di kediaman Budi Dalton, Bandung, Jumat (22/2/2019).
“Itu juga, mungkin saja, tidak lepas dari kritik Pak Prabowo (Subianto) yang membelah pers. Sehingga mungkin mereka melakukan itu. Kami sangat tidak setuju,” lanjutnya.
Sementara itu, Jubir PSI Andy Budiman mendesak polisi untuk menangkap pelaku tindak kekerasan tersebut. Menurutnya, tindakan itu merupakan bagian dari intimidasi terhadap kemerdekaan pers.
“Selain harus diusut dengan pasal penganiayaan, para pelaku juga harus dijerat UU Pokok Pers karena menghalang-halangi kerja wartawan,” kata Andy dalam keterangan tertulisnya, Jumat (22/2).
Andy menilai, insiden seperti itu bukan hanya terjadi sekali. Ia menyebut, adanya persekusi terhadap wartawan merupakan alarm bagi pihak-pihak yang masih menginginkan kebebasan dan demokrasi di Indonesia.
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (TJTI) pun mengutuk keras atas tindak kekerasan tersebut. Pasalnya, tugas jurnalis secara jelas dilindungi oleh undang-undang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyatakan dalam menjalankan profesinya jurnalis mendapat perlindungan hukum.
“Kerja-kerja jurnalistik itu meliputi mencari bahan berita, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, hingga menyampaikan kepada publik. Oleh karena itu, pelaku tindak kekerasan bisa dijerat pasal pidana yang merujuk pada KUHP serta Pasal 18 UU Pers, dengan ancaman dua tahun penjara atau denda Rp 500 juta,” jelas Ketua Umum IJTI, Yadi Hendriana, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (22/2).
Berikut insiden dugaan kekerasan pada Jurnalis yang terjadi saat Munajat 212, berdasarkan keterangan dari AJI Jakarta:
Koordinator Liputan CNN Indonesia TV, Joni Aswira, yang berada di lokasi menjelaskan kejadian tersebut. Malam itu, belasan jurnalis dari berbagai media berkumpul di sekitar pintu masuk VIP, dekat panggung acara. Mereka menanti sejumlah narasumber yang datang untuk diwawancarai.
Tiba-tiba di tengah selawatan sekitar pukul 21.00 WIB, terjadi keributan. Massa terlihat mengamankan orang. Saat itu, beredar kabar ada copet tertangkap. Para jurnalis yang berkumpul langsung mendekati lokasi kejadian. Beberapa di antaranya merekam, termasuk jurnalis foto (kamerawan) CNN Indonesia TV.
Kamera jurnalis CNN Indonesia TV cukup mencolok sehingga menjadi bahan buruan sejumlah orang. Massa yang mengerubungi bertambah banyak dan tak terkendali. Beberapa orang membentak dan memaksa jurnalis menghapus gambar kericuhan yang sempat terekam beberapa detik.
Saat sedang menghapus gambar, Joni mendengar ucapan bernada intimidasi dari arah massa. “Kalian dari media mana? Dibayar berapa?”, “Kalau rekam yang bagus-bagus aja, yang jelek enggak usah!”
Nasib serupa juga dialami wartawan detikcom. Saat sedang merekam, dia dipiting oleh seseorang yang ingin menghapus gambar. Namun, dia tak mau menyerahkan ponselnya.
Massa kemudian menggiring wartawan detikcom ke dalam tenda VIP sendirian. Meski telah mengaku sebagai wartawan, mereka tetap tak peduli. Di sana, dia juga dipukul dan dicakar, selain dipaksa jongkok di tengah kepungan belasan orang.
Namun akhirnya ponsel wartawan tersebut diambil paksa. Semua foto dan video di ponsel tersebut dihapus. Bahkan aplikasi WhatsApp pun dihapus, diduga agar pemilik tak bisa berkomunikasi dengan orang lain. Usai kejadian itu, korban langsung melapor ke Polres Jakarta Pusat dan melakukan visum.
Jurnalis CNNIndonesia.com yang meliput di lokasi kejadian ikut menjadi saksi kekerasan tersebut.
Sementara jurnalis Suara.com yang berusaha melerai kekerasan dan intimidasi itu terpaksa kehilangan ponselnya.
Baca juga : Jurnalis Dicekik di Malam Munajat 212, PSI: Gerombolan Tak Beradab!
Sumber berita Polisi Buru Pelaku Kekerasan dan Rintangi Tugas Jurnalis saat Munajat 212 : kumparan