Guru Besar Ilmu Komputer Beberkan Tentang Situng KPU dan Robot Ikhlas Hairul Anas Suaidi
Alumni Fakultas Teknik Elektro, Jurusan Ilmu Komputer ITB tahun 1978. Guru Besar Ilmu Komputer, certified International Association of Software Architect, certified Security Risk Auditor, certified Data Analyst, Insinyur Profesional Utama, anggota tim dan arsitek Grand Design Sistem Informasi Pemilu 2004.
Hari-hari ini kita disibukkan oleh berbagai isu yang berkaitan dengan Pemilu 2019, khususnya terkait dengan Situng KPU. Hebohnya kasus Situng ini kemudian memunculkan banyak pakar, baik yang benar-benar pakar informatika khususnya pakar software atau sistem informasi, maupun pakar abal-abal yang entah belajar informatika dimana. Pakar-pakar ini menghipnotis masyarakat awam dengan gelarnya, sehingga banyak masyarakat yang tidak paham menjadi terpedaya dengan pernyataan-pernyataannya. Karena itu sebagai akademisi yang memang mendalami bidang keilmuan ini, serta berpraktek dalam merancang arsitektur berbagai sistem besar, termasuk menjadi arsitek di Tim Grand Design Sistem IT Pemilu yang dibuat pada tahun 2003, saya menambahkan sedikit informasi yang mudah-mudahan dapat membuat masalah menjadi lebih jelas, terutama bagi masyarakat awam agar terbebas dari hipnotis pakar IT abal-abal.
Sesuai dengan sistem perundang-undangan Pemilu kita, satu-satunya hasil penghitungan suara yang sah secara hukum adalah hasil penghitungan suara berjenjang yang dilakukan secara manual, mulai dari tingkat TPS sampai pleno KPU Pusat, sedangkan Situng hanya untuk mengonfirmasi hasil perhitungan suara manual berjenjang tersebut.
Mekanisme ini masih sama dengan yang ada pada Grand Design Sistem IT Pemilu, dimana saya dan teman-teman didalam tim yang terdiri dari para ilmuwan dan praktisi informatika dari ITB, UI dan UGM, serta pihak lainnya menjadi bagian yang mendisain Sistem IT KPU, dan disahkan dalam sebuah Surat Keputusan KPU pada tahun 2003 yang lalu.
Artinya, apabila dalam melakukan input data scan form C1 pada Situng terdapat salah entri, salah algoritma, perangkatnya rusak, diretas, diacak-acak, disedot datanya, dimanipulasi atau apapun namanya, hasil Situng tidak akan memiliki pengaruh apa-apa terhadap hasil akhir penghitungan suara. Tidak ada gunanya jika ingin memanipulasi hasil Pemilu melalui Situng, kalau memang mau memanipulasi ya lakukan di penghitungan suara manual berjenjang, bukan melalui Situng.
Tentang tidak digunakannya Situng sebagai alat penghitungan suara tersebut sudah kami diskusikan berkali-kali secara panjang lebar dan mendalam pada waktu kami membuat grand design sistem IT Pemilu pada tahun 2003, terdapat perdebatan dan diskusi panjang di internal maupun eksternal yang melibatkan masyarakat, termasuk komunitas, para pakar dan ilmuwan serta organisasi-organisasi lainnya.
Tentu saja tim kami waktu itu menginginkan agar bangsa kita mempunyai sistem Pemilu yang modern, termasuk pencoblosan sampai penghitungan suara dilakukan dengan menggunakan IT. Tetapi kami juga menyadari bahwa teknologi yang ada saat itu, dan mungkin juga sampai sekarang, tidak cukup kuat untuk melindungi sistem penghitungan suara secara elektronik secara paripurna dari berbagai ancaman, sehingga disimpulkan bahwa penghitungan suara manual berjenjang lebih sesuai digunakan daripada penghitungan suara secara elektronis.
Akibat dari keputusan tidak digunakannya Situng sebagai alat penghitungan suara yang sah, maka waktu itu sempat ada pakar yang mengejek bahwa yang dibuat oleh KPU hanyalah kalkulator raksasa saja, bukan sistem yang canggih, karena toh hasilnya tidak dipakai sebagai hasil akhir penghitungan suara.
Kami menyadari ini karena bagi yang benar-benar ahli dalam bidang IT Security, pasti tahu persis bahwa didunia ini tidak ada sistem yang tidak bisa diretas, sehingga pertimbangannya adalah, bahwa sistem penghitungan suara manual berjenjang jauh lebih sulit untuk diretas, dibandingkan sistem penghitungan suara secara elektronik, apalagi dengan adanya partisipasi publik, baik itu saksi peserta, relawan, dan masyarakat umum yang akan ikut mengawasi proses penghitungannya.
Mungkin nanti dimasa depan dengan berbagai kemajuan IT yang setiap saat berkembang, seperti misalnya menggunakan blockchain dan lain-lainnya, dapat mulai dipikirkan penghitungan suara secara elektronis.
Lantas apakah Situng itu menjadi mubazir? Tentu saja tidak. Situng, dalam grand design tersebut, dirancang sebagai salah satu mekanisme transparansi penghitungan suara dan sebagai alat kontrol dari masyarakat jika terjadi manipulasi suara dan kecurangan. Dengan demikian Situng bukanlah hal yang sepele, tetapi alat penting untuk mengonfirmasi perhitungan suara manual berjenjang, untuk itu Situng jangan disalahgunakan agar seolah-olah dapat menentukan hasil akhir penghitungan suara. Dengan ditampillkannya hasil scan form C1 di Situng, maka masyarakat dapat berpartisipasi untuk memonitor hasil penghitungan suara di tingkat TPS. Jika terjadi manipulasi di tingkat ini, maka formulir C1 yang sudah dipindai dan diunggah di Situng bisa digunakan sebagai referensi. Jadi kalau ditemukan penyimpangan seperti ini, maka segera dilakukan koreksi terhadap perhitungan di tingkat TPS tersebut. Nah ketika kemudian perhitungan suara naik ke jenjang berikutnya yaitu di Kecamatan, maka hal yang sama dilakukan koreksi di jenjang tersebut. Jadi mestinya kalau perhitungan suara sudah sampai ke sebuah jenjang, maka perhitungan suara di jenjang bawahnya sudah valid dan sah karena disaksikan oleh para saksi peserta Pemilu dan juga oleh masyarakat.
Sebetulnya dulu pernah terlintas ide bahwa Situng tidak usah mentranskipsi hasil pemindaian formulir C1 ke dalam angka-angka, cukup ditampilkan hasil scan formulir C1 nya saja. Namun dengan pertimbangan bahwa waktu itu baru sebagian kecil masyarakat yang melek IT, maka dilakukan transkripsi alias data entri C1 kedalam Situng, karena kalau hanya hasil scan formulir C1 saja masyarakat akan protes, karena harus menghitung sendiri angka-angkanya.
Sekarang soal aplikasi Situng itu sendiri. Dalam grand design, Situng yang tampil adalah hasil virtualisasi dari salah satu server di KPU. Karena merupakan virtualisasi maka Situng dibuat terbuka, siapapun bisa dan diberikan kemudahan untuk mengakses. Namun hal ini punya dampak sampingan yang buruk, yaitu Situng dengan mudah dapat diretas, bahkan oleh anak-anak SMA. Namun hal ini tidak terlalu menjadi masalah, karena sebagai virtualisasi dari server, pihak KPU dapat dengan mudah mengembalikan ke status sebelum diretas, karena server yang sesungguhnya tidak tersambung ke Internet.
Jadi kalau mau meretas ya harus dari dalam KPU sendiri. Tapi sekali lagi, karena yang digunakan adalah sistem penghitungan suara manual berjenjang, seandainya semua server di KPU rusak bahkan sampai hancur pun tidak akan mempengaruhi hasil akhir penghitungan suara manual berjenjang.
Karena Situng KPU merupakan sistem terbuka, maka siapa saja dapat mengambil data yang ada di Situng. Beberapa hari yang lalu ada seorang profesor yang mengaku pakar IT, dimana latarbelakangnya saya tahu persis, membuat program saja tidak bisa, dengan bangga mengirimkan file Excel hasil download database Situng kepada saya, saya jawab “kalau hanya download data seperti itu, mahasiswa informatika semester awal pun bisa melakukannya”. Karena salah satu pelajaran dalam data analytics adalah bagaimana mengunduh data server kedalam file Excel.
Lalu bagaimana dengan “pakar” IT lulusan Teknik Elektro ITB bernama Hairul Anas Suaidi yang baru baru ini presentasi di Hotel Sahid, dengan Robot Ikhlas hasil karyanya yang katanya dapat memantau Situng KPU?, Terus terang saja, hasil karya Hairul Anas Suaidi itu biasa saja dan cenderung menyesatkan publik. Seperti saya jelaskan sebelumnya bahwa Situng KPU adalah sistem terbuka. Jadi mau diunduh per-hari, per-jam, per-menit, per-detik, atau real time, ya mudah saja karena oleh KPU memang dibuat sedemikian transparan seperti itu. Bahkan mahasiswa yang semesternya agak tinggi sedikit bisa membuat salinan (mirroring) dari database Situng dengan mudah, sehingga dapat saya katakan disini bahwa Robot yang katanya dapat memantau Situng KPU bukanlah sebuah karya yang fenomenal bagi masyarakat IT. Tidak perlu menjadi seorang pakar untuk membuat aplikasi seperti itu.
Mungkin ada yang menyanggah bahwa Robot Ikhlas bukan hanya melakukan mirroring saja, tetapi dapat menemukan ribuan kecurangan dari Situng. Sekali lagi, mau ribuan, jutaan, milyaran, triliunan kesalahan atau apapun namanya di Situng, atau seandainya Situng dihancurkan sekalipun, tidak ada pengaruhnya terhadap penghitungan suara manual berjenjang.
Kalau begitu apakah sebaiknya Situng dihentikan saja? Menghentikan Situng berarti menutup akses partisipasi dan kontrol publik terhadap penghitungan suara manual berjenjang. Karena itu menurut saya biarkan saja Situng berjalan seperti sekarang, tidak usah diributkan apalagi oleh pakar IT abal-abal, karena jika pakar yang benar-benar pakar, dengan penelitian dan karya-karya yang mendunia, pasti tahu bahwa Situng KPU tidak digunakan sebagai alat penghitungan suara yang sah, tetapi hanya alat kontrol saja, yang sah adalah sistem penghitungan suara manual berjenjang. Jadi kalau mau memantau apakah dalam penghitungan suara terdapat kecurangan atau tidak, awasilah penghitungan suara manual berjenjang, bukan mengawasi Situng. (Penulis Prof. Dr. Ir. Marsudi Wahyu Kisworo, IPU)
Baca juga: Hairul Anas Suaidi, Alumni ITB yang Ngaku Bikin ‘Robot’ Pantau Situng? Akun Ini Kuliti Habis-habisan
Sumber Berita Guru Besar Ilmu Komputer Beberkan Tentang Situng KPU dan Robot Ikhlas Hairul Anas Suaidi: Indonews.id