Mudik Lancar, Warganet Berkicau Kemacetan Itu Tradisi, Kok Dihilangkan?
Lancarnya perjalanan mudik Lebaran 2019 baik melalui Tol Trans-Jawa, Tol Trans-Sumatera maupun jalur arteri, disikapi warganet dengan guyonan segar.
Adalah Prastowo Yustinus, ahli perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) yang berkicau di akun pribadinya @prastow tentang mudik dengan waktu tempuh 6 jam.
Waktu tempuh tersebut dihitung mulai dari Cibubur hingga Semarang, dengan dua kali rehat di rest area.
Dengan nada bergurau, Prastowo menulis, “Pak @Jokowi, bagaimana ini? Saya mudik Cibubur-Semarang 6 jam, sudah termasuk dua kali istirahat di rest area. Apa nggak bisa lebih lambat gitu Pak?”
Pak @jokowi , bagaimana ini? Saya mudik Cibubur-Semarang 6 jam, sudah termasuk dua kali istirahat di rest area. Apa nggak bisa lebih lambat gitu Pak?
— Prastowo Yustinus (@prastow) June 3, 2019
Sejak diunggah pada Minggu (2/6/2019) pukul 21.44 WIB, kicauan Prastowo ini disukai 4.685 orang dan dikicau-ulang (retweet) oleh sebanyak 1.992 orang.
Unggahan Prastowo ini menuai 461 komentar, yang sebagian besar bernada sama; lucu, segar, dan menghibur.
Contohnya saja komentar dari akun @wakadol2012 yang mengatakan, “ini rezim paling dzalim, kemacetan itu tradisi, koq dihilangkan sih?”
ini rezim
paling dzalim
kemacetan itu tradisi
koq dihilangkan sih?— cinggaro® (@cinggaro) June 3, 2019
Komentar @aarifimam juga mengundang senyum. Dia merespons dengan kicauan, “Ini bukan budaya kita, mudik kok gak macet, apa-apaan ini”
ini bukan budaya kita!!! mudik kok ga macet…apa apaan ini…
— Arif I. Mahmud (@aarifimam) June 3, 2019
Perhelatan mudik Lebaran 2019, memang diakui lebih lancar ketimbang tahun-tahun sebelumnya.
Para pemudik yang ditemui Tim Merapah Trans-Jawa 4.0 Kompas.com dengan tujuan berbagai kota di Jawa Tengah, mengonfirmasi hal itu.
Alam, contohnya. Dia bersama enam kerabatnya yang berdomisili di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, melakukan perjalanan mudik selepas shalat Maghrib pada Minggu (2/6/2019).
Setelah mencapai tempat istirahat di KM 86 A Jalan Tol Cipali, Alam langsung menggelar tikar untuk menyantap makan malam yang dia bawa dari rumah.
“Tak kebagian tempat di rest area, jadi kami gelar tikar di jalan (bahu jalan),” tambah Alam.
Dengan kota tujuan Sragen, Alam memperkirakan waktu tempuh efektif sekitar 8 jam hingga 10 jam.
Waktu tempuh ini lebih singkat dibanding tahun-tahun sebelumnya ketika Tol Trans-Jawa belum terwujud.
“Kami bisa sampai rumah 24 jam kemudian. Itu kalau kondisi lalu lintas normal. kalau lagi macet, bisa dua hari dua malam,” sebut Alam.
Untuk menuju Sragen, Alam harus mengeluarkan dana sekitar Rp 400.000 untuk BBM, dan Rp 380.000 membayar tol.
Sementara itu, Polri menilai lancarnya arus mudik Lebaran tahun ini karena efektivitas rekayasa lalu lintas one way.
Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Polri Kombes Pol Asep Adi Saputra beralasan, tidak ada penumpukan yang terlalu lama selama arus mudik.
“Iya sangat efektif. Beberapa hari kami sudah melakukan kegiatan one way, itu memberikan kelancaran sehingga tak terjadi penumpukan-penumpukan yang terlalu lama di jalan,” ujar Asep di Gedung Humas Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (3/6/2019).
Untuk menjamin keamanan dan kenyamanan masyarakat selama Idul Fitri, Polri menyelenggarakan operasi yang dinamakan Operasi Ketupat 2019.
Operasi Ketupat 2019 tersebut berlangsung selama 13 hari, mulai 29 Mei hingga 10 Juni 2019.
Polri mengerahkan 160.335 personel gabungan yang diselenggarakan di seluruh Polda di Indonesia.
Dalam operasi ini, terdapat 11 polda yang menjadi prioritas, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Lampung, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Bali, dan Papua.
Asep menuturkan, terdapat tiga pos dalam pelaksanaan operasi tersebut, yaitu pengamanan, pelayanan, dan terpadu.
Pos pengamanan terletak di daerah yang sering dilalui masyarakat untuk menjamin keamanan masyarakat.
Simak videonya dibawah ini:
Baca juga: Tips Mudik Aman Menggunakan Kendaraan Pribadi Ala Jacklyn Choopers
Sumber Berita Mudik Lancar, Warganet Berkicau Kemacetan Itu Tradisi, Kok Dihilangkan?: Kompas.com