Patrialis Akbar: Saya Telah Dizalimi, Ini Lebih Kejam dari Zaman Penjajahan
Eks Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menyebut tuntutan jaksa di kasus dugaan suap uji materi UU No 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan penuh asumsi. Tuduhan yang dialamatkan ke dirinya telah membuat keluarga dan saudaranya kocar-kacir.
“Sudah sangat jelas JPU menyusun dakwaan Dan tuntutannya hanya didasari dari asumsi-asumsi yang sedat dan tidak didukung dengan fakta bukti yang kuat,dan barang bukti yang kuat, sekarang saya sudah hancur, anak istri saya, dan saudara saya kocar-kacir,” kata Patrialis saat membacakan pleidoi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jl Bungur Besar Raya, Jakarta, Senin (21/8/2017).
Patrialis menyebut dirinya telah dizalimi dan itu membuat keluarganya bersedih. Dia menyebut kasus suap yang dipersangkakan ke dirinya lebih kejam dari zaman penjajahan.
“Mereka sedih karena menyaksikan saya dizalimi dengan suatu kekuasaan yang sewenang-wenang namun berselimutkan atas nama hukum, mungkin keadaan ini lebih sadis dibandingkan dengan penjajahan yang memiliki rasa kemanusiaan, keberhasilan KPK menghabisi karir, reputasi, harkat martabat dan nama baik saya sudah berhasil. Saya menunggu di akhirat permintaan maaf mereka,” paparnya.
Patrialis juga memaparkan jika dirinya telah mengabdi puluhan tahun untuk negara sehingga tidak mungkin menerima suap terkait perkara. Dia menyesal telah melakukan pelanggaran kode etik.
“Naudzubillah min dzalik meskipun saya tidak salah secara pidana saya tetap menyesalkan dan meminta maaf atas pelanggaran kode etik yang saya lakukan, sehingga dianggap menerima hadiah atau janji sehingga membawa petaka bagi saya,” katanya.
Patrialis juga membantah menerima suap dari Basuki Hariman dan Ng Fenny melalui Kamaludin. Dia mengutip keterangan saksi selama di persidangan Kamaludin menegaskan jika uang sebesar USD 50 ribu itu atas inisiatifnya sendiri. Juga soal keterangan Dzaki Faizal yang mengaku tidak pernah mendengar Basuki dan Ng Fenny menjanjikan sesuatu ke Patrialis.
“Dalam persidangan kasus a quo JPU tidak bisa membuktikan adanya pemberian-pemberian Basuki Hariman dan Ng Fenny kepada saya sekalipun apalagi berkali-kali, baik secara langsung ataupun melalui Kamaludin sebagai perantara. Berdasarkan fakta-fakta persidangan dari keterangan saksi-saksi, benda/uang yang dituduhkan JPU diberikan oleh Basuki Hariman dan Ng Fenny melalui Kamaludin kepada saya juga tidak bisa dibuktikan sampai dengan pleidoi ini dibuat,” paparnya.
Patrialis mengatakan Kamaludin telah mengakui menerima uang sebesar USD 50 ribu tanpa sepengetahuannya. Justru Patrialis mengaku telah berkali-kali menolak untuk membahas uang kepada Basuki.
“Peristiwa yang terjadi pada kasus a quo tidak pernah ada kesepahaman sama sekali antara saya, Basuki Hariman, Kamaludin, bahkan justru dari 5 kali pertemuan saya dengan Basuki Hariman. Bahkan 3 kali saya melarang Basuki Hariman untuk bicara uang dan saya pun dari awal sudah menegaskan kepada Kamaludin tidak boleh gitu-gituan ketika Kamaludin mengatakan akan ada ucapan terima kasih dari orang yang minta tolong,” urai Patrialis.
Patrialis merasa menjadi korban karena dalam kasus ini lantaran tak tahu adanya aliran uang. Dia menyebut tokoh utama kasus ini adalah Kamaludin.
“Dalam kasus saya ini, yang bertindak sebagai pelaku utama yang mencari keuntungan adalah saudara Kamaludin sedangkan saya korban. Sebab saya tidak pernah mengetahui tentang permintaan uang oleh Kamaludin kepada Basuki Hariman dan pemberian-pemberian uang oleh Basuki Hariman kepada Kamaludin,” katanya.
Dia menyebut adanya kekhilafan atas bocoran draft putusan uji materi dikarenakan kedekatannya dengan Kamaludin. Terkait pelanggaran kode etik itu, Patrialis mengaku mengundurkan diri sebagai hakim MK.
“Perihal adanya kekhilafan, keterlanjutan diketahuinya draft putusan MK oleh Kamaludin semata-mata karena rasa kedekatan sata kepada Kamaludin yang tidak ada hubungannya dengan pemberian atau penerimaan hadiah atau janji yang berhubungan dengan perkara judicial review di MK. Sehingga kekhilafan sata ini dialah kekhilafan yang berkenaan dengan pelanggaran kode etik,” katanya.
“Sebagai konsekuensinya atas kesadaran sendiri saya sudah mengajukan pengunduran diri sebagai hakim Mahkamah Konstitusi,” lanjutnya.
Patrialis Akbar menyebut jaksa penuntut umum (JPU) KPK memutarbalikkan fakta terkait dengan pemberian uang dan pembayaran apartemen kepada Anggita Eka Putri. Patrialis menyebut apartemen itu belum dilunasi karena dia keburu tersangkut kasus di KPK.
“JPU masih mendalilkan bahwa setelah saya terima uang USD 10 ribu dari Kamaludin tanggal 23 Desember 2016, lalu saya memberikan uang itu kepada Anggita Putri sejumlah USD 500,” kata Patrialis saat membacakan pleidoi di PN Tipikor Jakarta, Jl Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (21/8/2017).
Patrialis menyebut, dalam sidang, Anggita mengaku memberikan uang satu minggu sebelum umrah pada 25 Desember 2016. Sedangkan Kamaludin membayar utang pada 23 Desember 2016. Dia juga merasa tidak bertemu dengan Anggita sejak 23-25 Desember 2016.
“Memang pemutarbalikan fakta oleh JPU kebangetan. Jadi kalau saya berikan uang saya kepada siapa pun atau diberikan apa pun kepada siapa pun adalah hak saya, tidak ada urusan dengan JPU,” tegasnya.
“Namun saya paham sekali kenapa JPU terlalu berani memutarbalikkan fakta ini, sebab memang dari awal kasus saya memiliki beberapa misteri yang sudah saya ungkapkan di depan, hadirnya seorang wanita di kasus saya sehingga cukup sempurna cara-cara menghancurkan nama baik, harkat, dan martabat saya. Semoga Allah Tuhan Yang Maha Esa membalas setimpal dengan apa yang dilakukan JPU,” sambungnya.
Dia juga meluruskan soal pembelian unit Apartemen Casa Grande yang dikaitkan dengan kasus uji materi perkara nomor 129/PUU-XIII/2015. Dia menyebut pembelian apartemen itu tidak terkait dengan janji Rp 2 miliar yang diberikan Basuki Hariman dan Ng Fenny.
“Bahwa dalil JPU tentang rencana saya mau beli Apartemen Casa Grande adalah bentuk nyata pemutarbalikan fakta sebab tidak benar saya mau beli apartemen tersebut dengan mengharapkan uang Rp 2 miliar dari Basuki Hariman,” tegasnya.
“Pertama, mendapatkan diskon besar dari harga Rp 3,4 miliar menjadi Rp 2,2 miliar dengan catatan harus bayar tunai. Alasan lain adalah Saudara Irwan Nazif menyampaikan kepada saya adanya prospek hasil sewa yang bagus apabila apartemen itu disewakan kepada orang asing akan mendapatkan hasil Rp 25-30 juta/bulan. Oleh karena itu, saya tertarik untuk membeli apartemen tersebut,” urainya.
Patrialis menyebut rencana pelunasan pembayaran rumah secara tunai melalui bank sudah disampaikan saat bersaksi di persidangan. Dia menyebut belum lunasnya apartemen tersebut karena dirinya saat itu sedang diperiksa KPK.
“Namun Saudara Irwan Nazif mengatakan pada saat itu bahwa pembelian apartemen ini belum bisa dilanjutkan/diambangkan dulu karena ada masalah dengan KPK. Sehingga anak dan istri saya tidak bisa melunasi pembayaran apartemen tersebut,” jelasnya.
“Oleh karena itu, tidak benar dan menyesatkan apabila rencana pembelian apartemen saya untuk diberikan kepada orang lain. Hal ini pun juga bersifat fitnah,” tegasnya.
Sebelumnya, dalam tuntutan, JPU menyebut Patrialis terbukti menerima suap dari Basuki Hariman dan Ng Fenny. Jaksa menyebut Patrialis membutuhkan uang sekitar Rp 2 miliar untuk melunasi pembelian satu unit Apartemen Casa Grande Residence Tower Chianti untuk Anggita Eka Putri.
Selain itu, Patrialis diduga membutuhkan dana sebesar Rp 1-2 miliar untuk membelikan Anggita rumah di daerah Cibinong.
Baca juga : Jaksa Tuntut 12,5 Tahun Bui atas Perbuatan Patrialis Akbar Terima Suap
Sumber berita Patrialis Akbar: Saya Telah Dizalimi, Ini Lebih Kejam dari Zaman Penjajahan : detik