Mafia Kurator Berusaha Mempailitkan 1765 Konsumen Grand Asia Afrika Bandung. Gugatan pailit yang kini tengah bergulir di PN Niaga Jakarta Pusat dirasaakan sangat tidak beralasan dan tidak masuk diakal. Sebab, permohonan pailit yang dilayangkan dua orang konsumen sangat kental dilatarbelakangi oleh usur rekayasa dari pihak-pihak tertentu.
Berdasarkan hasil penyelidikan, kedua konsumen yang mengajukan gugatan pailit sebenarnya tidak sungguh-sungguh berniat utk menggugat ke pengadilan. Meski mereka merasa kecewa atas keterlambatan serah terima apartemen, namun mereka hanya menginginkan agar pihak developer mengembalikan uang (refund) atau melakukan pergantian unit di tower yang sudah selesai dibangun.
Akan tetapi, kekecewaan mereka justeru dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin mengail di air keruh. Sebab, faktanya proses negosiasi damai yang diinginkan kedua konsumen tidak dapat dilaksanakan karena adanya keterlibatan pihak lain yang seolah-olah menghalangi proses damai tersebut. Akibatnya, munculah gugatan pailit yang kini menyeret 1756 pembeli unit di GAAR.
Mafia Kurator Berusaha Mempailitkan 1765 Konsumen Grand Asia Afrika Bandung
Pemilik Grand Asia Afrika Residence (GAAR) Bandung memohon kepada Presiden Joko Widodo, DPR RI, Gubernur Jabar, Walikota Bandung, serta pihak-pihak terkait lainnya, untuk ikut terlibat dalam upaya menghentikan proses pailit yang kini tengah dihadapi PT Kagum Lokasi Emas (KLE), sebagai developer GAAR. Gugatan pailit yang kini tengah bergulir di PN Niaga Jakarta Pusat dirasakan sangat tidak beralasan dan tidak masuk diakal. Sebab, permohonan pailit yang dilayangkan dua orang konsumen sangat kental dilatarbelakangi oleh usur rekayasa dari pihak-pihak tertentu.
Dengan adanya gugatan pailit atas ‘kepemilikan’ Grand Asia Afrika (GAAR), tengah bergulir di PN Niaga Jakarta Pusat. Utamanya, hal ini dirasakan sangat tidak beralasan. “Dugaan, permohonan pailit yang dilayangkan dua orang konsumen itu sangat kental oleh usur rekayasa dari pihak tertentu,” kata Ir. Yan Permana MM sebagai salah satu pemilik Unit B 388 di GAAR, yang juga selaku Dewan Pengawas Koperasi Grand Asia Afrika Mandiri.
“Kedua konsumen yang mengajukan gugatan pailit ini, sebenarnya tidak sungguh-sungguh berniat untuk menggugat ke pengadilan. Meski mereka kecewa atas keterlambatan serah terima apartemen, sebnarnya hanya menginginkan agar pihak developer mengembalikan uang (refund). Atau, melakukan pergantian unit di tower yang sudah selesai dibangun.”
Fakta lain kata Yan Permana, kekecewaan dua konsumen ini, justru dimanfaatkan oleh pihak yang ingin mengail di air keruh. Kebalikannya, proses negosiasi damai yang diinginkan kedua konsumen tidak dapat dilaksanakan karena adanya keterlibatan pihak lain yang seolah-olah menghalangi proses damai tersebut.
“Akibatnya, munculah gugatan pailit yang kini menyeret 1756 pembeli unit di GAAR.”
Mash kata Yan Permana, indikasi rekayasa ini semakin tampak tatkala kedua konsumen pada akhirnya mencabut gugatannya di pengadilan. Syangnya, lagi-lagi proses damai yang diupayakan antara penggugat dan seluruh pemilik apartemen GAAR menemui jalan buntu.
“Meskipun sudah mencabut gugatannya, hakim PN Niaga ternyata tidak mengakomodir proses damai ini. Alasannya, pihak tergugat tidak mengajukan proposal perdamaian.”
Sungguh ironis. 1756 konsumen yang membeli unit sarusun dengan cara menyicil kini nasibnya diujung tanduk. Meski dalam proses voting mayoritas kreditur menyatakan dukungan untuk tolak pailit, akan tetapi hal itu tidak memberi jaminan bahwa unit yang dimiliki benar-benar aman dari kemungkinan pailit. Sebab, persidangan yang semula berawal dari kekecewaan konsumen kemudian menyeret dua bank besar yang memberi jaminan pembiayaan kepada developer, yakni Bank Bukopin dan Bank ICBC.
Inilah pangkal persoalan yang sesungguhnya. Salah satu bank pemberi kredit, yakni Bank ICBC menolak menyetujui proposal perdamaian dengan alasan bahwa developer sebagai debitur tidak mentaati perjanjian kredit. Artinya, proses pembayaran cicilan sering diabaikan pihak developer sehingga bank merasa dirugikan.
Berbagai upaya telah dilakukan agar negosiasi damai berhasil dilaksanakan. Pihak developer menawarkan untuk menjual asset-aset yang diagunkan agar hutang-hutang developer bisa terbayar. Namun, lagi-lagi proses perdamaian terbentur berbagai kendala. Antara lain, asset yang dijaminkan tidak kunjung terjual sehingga developer tidak bisa secepat mungkin memenuhi kewajibannya. Sementara permohonan perpanjangan waktu (grace period) dalam pembayaran hutang, juga tidak disetujui oleh pihak ICBC.
Akibatnya sudah bisa ditebak. Sidang pembacaan putusan yang rencananya akan digelar Senin, 6 Agustus 2018, menimbulkan kekhawatiran dari para pemilik unit GAAR. Meski kenyataannya sebagian besar kreditor (termasuk pihak dari bank Bukopin) menyatakan dukungan untuk tercapainya perdamaian, namun palu hakim tentu tak bisa ditebak. Ada banyak kekhawatiran bahwa putusan yang nanti dibacakan hakim tidak akan berpihak kepada para pemilik unit. Ada kekhawatiran bahwa tangan-tangan jahil ikut berperan dalam pembacaan putusan nanti. Tentu saja hal itu cukup beralasan bila merujuk pada sidang-sidang sebelumnya dimana proses perdamaian yang diajukan penggugat ternyata tidak diindahkan majelis hakim.
Kekhawatiran tsb tentu sangat beralasan. Meski berdasarkan hasil voting 99,79% kreditur konkuren menyetujui proposal perdamaian, namun dari pihak kreditur separatis yang menyetujui hanya satu bank, yakni Bank Bukopin (69,17%). Sementara itu, menurut pasal 281 ayat (1) UU KPKPU Bab III tentang Penundaan Pembayaran Kewajiban Utang, syarat perdamaian dapat diterima bila: ½ dari jumlah kreditor konkuren dan mewakili 2/3 tagihan yang diakui, mengakui dan menyetujui perdamaian. Dan, ½+1 dari kreditur separatis yang mewakili 2/3 tagihan kreditor, menyetujui perdamaian.
Permasalahannya, dalam voting tersebut syarat ½+1 belum terpenuhi karena jumlah kreditor separatis hanya ada dua. Jadi khusus untuk kreditur separatis posisinya masih fifty fifty. Celah inilah yang dikhawatirkan akan digunakan pihak ICBC untuk mendrive hakim.
Tentu tanpa bermaksud berprasangka buruk terharap aparat penegak hukum. Namun, semua kemungkinan bisa terjadi, termasuk diantaranya kemungkinan bahwa hakim justeru berpihak kepada bank pemberi kredit, yakni Bank ICBC. Jika demikian yang terjadi, maka ujung-ujungnya bisa ditebak. 1756 konsumen pembeli unit sarusun GAAR, nasib kepemilikannya akan semakin suram. Sebab, jika putusan pailit yang dijatuhkan hakim, secara otomatis tanah dan bangunan GAAR akan jatuh ke tangan kurator yang kemudian akan masuk dalam proses lelang.
Pihak kurator yang sudah terkenal hitam di dunia mempailitkan adalah Swandy Halim. Kurator yang sudah sangat banyak terlibat dalam hal mempailitkan perusahaan seperti pada kasus Aston Resort and Spa, Tanjung Benoa, dan Bali Kuta Residence. Yusril Ihza Mahendra pun ikut berbicara dalam hal mafia kurator ini. Mereka mendapatkan fee dari perusahaan yang berhasil di pailitkan tanpa menghiraukan nasib dari konsumen perusahaan tersebut.
Lantas bagaimana hak-hak 1756 konsumen yang telah membeli unit di GAAR? Entahlah. Yang pasti bercermin pada berbagai kasus yang pernah muncul di republik ini, jika putusan sampai pada kata “pailit”, maka yang paling banyak menelan pil pahit adalah para pembeli unit. Dan itu bukan lagi rahasia umum.
Oleh karena itulah, melalui tulisan ini kami para pemilik unit di Grand Asia Arika Residence, memohon dengan sangat kepada pihak-pihak terkait agar turut memikirkan nasib kami yang tengah dihadapkan pada masalah yang jelas sangat merugikan dan tidak adil. Esensi hukum adalah keadilan. Tugas penegak hukum adalah menegakkan keadilan. Oleh karena itu, BERIKAN KAMI KEADILAN YANG SESUNGGUHNYA, ungkap Ketua DPW jabar perwiranusa