Akhir Polemik ‘Simbol Dajjal’ di Masjid Al-Safar, Ini Jawaban Telak Ridwan Kamil

Akhir Polemik 'Simbol Dajjal' di Masjid Al-Safar, Ini Jawaban Telak Ridwan Kamil

Akhir Polemik ‘Simbol Dajjal’ di Masjid Al-Safar, Ini Jawaban Telak Ridwan Kamil

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil bertemu dengan Ustaz Rahmat Baequni dalam forum diskusi yang inisiasi oleh MUI Jawa Barat. Diskusi itu dibuat untuk membahas isu simbol Dajjal pada bangunan Masjid Al-Safar di rest area KM 88 B, Tol Cipularang.

Polemik ini muncul karena Ustaz Rahmat mengomentari banyaknya bentuk segitiga pada Masjid Al-Safar yang identik dengan illuminati, atau kelompok yang disebut-sebut menyembah setan atau Dajjal.

Dalam diskusi itu, Emil –panggilan akrab Ridwan Kamil– meminta masyarakat untuk berpikir positif bahwa masjid adalah tempat ibadah dan tak terpengaruh dengan berbagai bentuk bangunan. Emil merupakan perancang desain dari Masjid Al-Safar.

“Saya meyakini kalau iman kita kuat mau kita melihat apapun geometri, dan visual tidak mengubah iman kita,” ujar dia di Pusat Dakwah Islam Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Bandung, Senin (10/6).

Masjid Al-Safar di rest area km 88 Foto: Cornelius Bintang/kumparan

Emil kemudian mencontohkan beberapa masjid yang mengandung bentuk segitiga dan lingkaran. Misalnya Masjid Trans Studio Bandung yang terdapat bentuk segitiga dengan lingkaran di tengah atau disebut mata satu.

Bila simbol segitiga dan lingkaran dilarang, Emil menyebut, simbol berupa bulan sabit yang digunakan sebagai lambang Pancasila dan logo organisasi FPI pun mesti dilarang.

“Kalau lingkaran segitiga enggak boleh maka kita harus konsisten bintang lima juga dilarang, apa yang terjadi? Maka semua lambang yang ada masjid dan bulan sabit maka harus dilarang. Berarti lambang Pancasila dilarang, lambang FPI dilarang itu kalau konsisten bentuk itu dilarang,” kata Emil.

Masjid Al-Safar di rest area km 88 Foto: Cornelius Bintang/kumparan

Emil juga mencontohkan Masjid Nabawi hingga Masjid Raya Jakarta yang mengandung bentuk segitiga dan lingkaran. Dia meminta keadilan agar masyarakat menilai sama masjid karyanya dengan masjid-masjid lainnya.

“Saya minta keadilan saja kalau Al-Safar difatwakan seperti itu saya minta fatwanya masjid Nabawi fatwanya bagaimana karena sama jangan tidak adil. Karena Al-Safar ada Ridwan Kamilnya dipeyeum, dibahas-bahas, tapi tempat suci umat Islam tidak pernah disentuh,” tutur sarjana arsitektur lulusan ITB dan master dari Universitas California, Berkeley, AS, ini.

“Masjid Raya Jakarta, kenapa tidak heboh? Mungkin karena arsitekturnya bukan (karya) Ridwan Kamil jadi tidak ramai, tidak picemooheun,” imbuh dia.

Emil menegaskan bentuk bangunan pada Masjid Al-Safar yang viral itu bukan segitiga, tapi trapesium. Ia tak setuju apabila masjid atau bangunan ditemukan simbol yang dianggap non-muslim maka disimpulkan melanggar syariat.

Masjid Al-Safar di rest area km 88 Foto: Cornelius Bintang/kumparan

“Saya belum bersepakat kalau di tiap masjid atau tiap bangunan ditemukan simbol non-muslim dan kita menghakimi itu melanggar syariat. Tunggu dulu, mungkin karena ketidaktahuan atau tidak disengaja,” papar Emil.

Emil menjelaskan ide mendesain Masjid Al-Safar bermula dari keinginan untuk membuat masjid yang menyatu dengan alam. Sehingga, kata dia, desain masjidnya dibuat tidak beraturan sebagaimana alam.

“Desain di tengah pasar dengan di puncak gunung tidak boleh sama, ini karena di pinggir gunung. Ini idenya adalah menyatu dengan alam maka bentuknya alam, tidak beraturan. Bentuk Al-Safar pun bentuknya tidak beraturan,” kata Emil.

Emil membantah sengaja merancangan masjid tersebut dengan bentuk lingkaran seperti yang ramai di media sosial disebut mata satu. Bentuk lingkaran, kata dia, merupakan hiasan dari kontraktor karena proyek tersebut sebelumnya mangkrak.

“Saya klarifikasi sekarang. Desain saya enggak pakai lingkaran karena proyeknya mangkrak oleh Jasa Marga, pada saat saya datang sudah begitu. Saya tanya, kenapa ada lingkaran? Oh, itu dari kontraktornya,” ujar dia.

Sementara itu, Ustaz Rahmat meminta masyarakat untuk berhati-hati dengan sosok Dajjal. Rahmat menjelaskan, pengaruh Dajjal bisa memasuki berbagai ranah kehidupan, termasuk simbol, ritual, bahkan desain arsitektur. Menurutnya, bila simbol-simbol itu digunakan di masjid maka hukumnya haram karena bisa membatalkan salat.

Masjid Al-Safar di rest area km 88 Foto: Cornelius Bintang/kumparan

“Dan Dajjal mewujudkan ambisinya lewat kerja zionisme internasional dan mereka menyatu dalam tiga ranah yaitu simbol, ritual, arsitektur,” jelas dia.

“Silakan, simbol-simbol itu dibangun di selain tempat ibadah. Tapi, haram hukumnya simbol itu ada di dalam masjid karena simbol itu akan membatalkan salat kita dan akan menggugurkan tauhid kita. Betul?” kata dia dijawab “betul” oleh pendukungnya yang hadir.

Rahmat mengatakan, berdasarkan keterangan Nabi Muhammad, siapa pun yang mengetahui fitnah Dajjal maka diwajibkan untuk menghindarinya.

“Fitnah Dajjal adalah sistem kehidupan. Demi Allah, tidak ada satu pun sistem kehidupan yang tidak tersentuh oleh fitnah Dajjal,” kata Rahmat.

Rahmat membantah kritiknya terhadap bangunan Masjid Al-Safar Rahmat hanya untuk menyerang pribadi Emil

“Tidak sama sekali, demi Allah. Sama sekali saya tidak pernah berniat menjatuhkan Ridwan Kamil. Tadi, telah saya sampaikan kepada beliau, kita akan terbuka. Dan saya tidak suuzon kepada siapa pun. Kalau saya memfitnah beliau keturunan Dajjal, itu fitnah. Coba di dalam ceramah, ada enggak kata-kata itu?” kata Rahmat.

Ridwan Kamil (kiri) dan Utaz Rahmat Baequni di Masjid Al-Safar. Foto: Instagram/@ustadzrahmatbaequni

Rahmat menjelaskan segala yang disampaikannya dalam dakwah yang sering ia lakukan soal Dajjal dan huru-hara akhir zaman bertujuan untuk mengingatkan soal ancaman Yahudi. Bahkan, kata dia, sebentar lagi Yahudi akan segera mencapai yang diinginkannya di dunia ini.

“Apa pun yang saya sampaikan di seluruh Indonesia, Bapak-bapak lihat tujuannya, mengingatkan umat bahwa Yahudi tidak pernah berhenti memerangi kaum muslim sampai kita mengikuti mereka. Mereka tidak akan lama lagi berada dalam puncak dari apa yang mereka ingin capai di dunia ini,” tutur Rahmat.

Menanggapi polemik ini, Ketua MUI Jawa Barat Rahmat Syafei –yang hadir dalam forum diskusi sebagai penengah– merasa pihaknya tidak perlu mengeluarkan fatwa terkait boleh tidak beribadah di Masjid Al-Safar.

Masjid Al-Safar di rest area km 88 Foto: Cornelius Bintang/kumparan

“Tidak diperlukan (fatwa). Kalau ada yang bertanya adanya masalah, baru (ditindaklanjuti). Tapi MUI sadar kalau begini jangan sampai jadi masalah. Kedua pihak menjelaskan dulu,” ujar Rahmat Syafei.

Menurutnya, soal polemik Al-Safar ini kedua pihak memiliki pandangan yang harus sama-sama dihargai.

“Kalau fatwa MUI sendiri itu fatwanya kelompok. Pasti diundang para ahlinya, bukan hanya MUI saja. Tadi Pak Ustaz Rahmat Baequni juga punya pandangan begitu rinci dan rasional,” ujarnya.

“Pak Ustaz Rahmat menyampaikan keyakinan. Itu tidak ada orang yang berhak menyalahkan. Tapi itu ternyata tidak satu pandangan dalam keagamaan ini,” sambung dia.

Ridwan Kamil saat pimpin do’a di Masjid Al-Safar. Foto: Instagram/Instagram/@ustadzrahmatbaequni

Baginya yang terpenting adalah bagaimana umat Islam tetap merajut persaudaraan. Ia tak ingin polemik soal Masjid Al-Safar ini dapat memecah belah umat.

“Apa pun keyakinan masing-masing karena itu dihargai, silakan. Tapi yang disepakati bagaimana menjaga persaudaraan dan kita saling menghargai atas perbedaan pendapat. Jadi memang ini sengaja bertemu untuk memperkuat persaudaraan tadi,” ucap Rahmat.

Masjid Al-Safar diresmikan pada 19 Mei 2017 di rest area yang dikelola oleh PT Jasa Marga. Masjid ini, menurut Jasa Marga, merupakan masjid terbesar di rest area di seluruh Indonesia. Luasnya 6.000 meter persegi dan mampu menampung 1.200 jemaah. Masjid Al-Safar merupakan masjid ke-20 yang dirancang Ridwan Kamil.

 

Baca juga: Viral Netizen Protes Masjid Al Safar Mirip Simbol Illuminati, KPK: Buat Saja Sendiri

 

Sumber Berita Akhir Polemik ‘Simbol Dajjal’ di Masjid Al-Safar, Ini Jawaban Telak Ridwan Kamil: Kumparan.com