Benarkah di Zaman Orde Baru Soeharto Bebas Bercadar seperti Kata Fahri Hamzah?

Benarkah di Zaman Orde Baru Soeharto Bebas Bercadar seperti Kata Fahri Hamzah?

Benarkah di Zaman Orde Baru Soeharto Bebas Bercadar seperti Kata Fahri Hamzah?

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengkritik keras larangan menggunakan cadar bagi mahasiswi oleh rektorat UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Menurut Fahri, zaman sekarang justru lebih mengekang kebebasan hak warga negara. Fahri membandingkan dengan era Orde Baru yang memperbolehkan wanita menggunakan cadar.

Tetapi, benarkah rezim Orde Baru memperbolehkan cadar?

Jangankan cadar, Soeharto bahkan ‘alergi’ dengan simbol-simbol Islam seperti jilbab. Larangan penggunaan jilbab pernah diterapkan pada masa Orde Baru. Larangan itu menyebabkan perempuan muslimah menggunakan jilbab di rumah, tetapi tidak menggunakan jilbab saat beraktivitas di kantor pemerintahan.

Di era Orde Baru, jangan harap menemukan polwan atau prajurit TNI wanita yang berjilbab.

Ilustrasi wanita bercadar.
Ilustrasi wanita bercadar. (Foto: Pixabay)

Beberapa sekolah dan universitas juga mengusulkan agar pelajar wanita tidak menggunakan jilbab untuk foto di ijazah dengan alasan agar mudah mencari kerja. Hal ini menyebabkan muslimah berjilbab memiliki keterbatasan pilihan karir saat itu.

Klimaksnya, pada 17 Maret 1982, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Departemen P dan K) RI mengeluarkan SK 052/C/Kep/D.82, isinya kebijakan baru pemerintah terkait standardisasi penggunaan seragam sekolah secara nasional.

Pasal 1 ayat (2) aturan tersebut menerangkan seragam sekolah adalah pakaian untuk digunakan saat belajar di sekolah, yang di-satu ragamkan. Kemudian, Pasal 5 ayat (4) hanya mengakomodasi seragam khas yakni dengan tutup kepala khas, lengan panjang, dan rok panjang, bukan jilbab.

Rezim Orde Baru tak memberikan kompromi terhadap keberadaan para siswi berjilbab di sekolah-sekolah negeri. Sehingga pilihan yang tersedia hanya dua: terus bersekolah namun membuka jilbabnya atau terus berjilbab namun harus pindah ke sekolah swasta.

Lihat fotonya dibawah ini

Dikutip dari historia.id, kasus jilbab menjadi heboh ketika tahun 1989. Ketika itu beredar isu “jilbab beracun” bahwa ada sekelompok perempuan berjilbab yang kerjanya menebarkan racun di pasar-pasar. Situasi tersebut menyebabkan muslimah berjilbab terpojok dan membuka jilbabnya.

Jilbab pada masa Orde Baru diartikan sebagai representasi kelompok Islam ekstrimis yang bisa mengganggu keamanan negara. Jilbab bukan lagi dianggap sebagai pilihan religius individu, tapi sejenis bentuk pemberontakan. Sehingga, rezim saat itu mencurigai ideologi dan kesetiaan muslimah yang menggunakan jilbab kepada negara.

Namun isu “jilbab beracun” justru menjadi titik balik perlawanan. Sebagian umat Islam bereaksi karena marah terus dipojokkan oleh rezim Soeharto. Dipelopori para mahasiswa, sepanjang tahun 1990, di kota-kota besar marak terjadi demonstrasi untuk menentang peraturan pemerintah yang mendiskriminasi para perempuan berjilbab.

Kondisi tersebut menyebabkan pemerintah berpikir ulang untuk melonggarkan tekanan kepada kaum Islam. Maka pada 16 Februari 1991 ditetapkanlah SK.No.100/C/Kep/D/1991, yang intinya berisi membolehkan para siswi untuk mengenakan pakaian yang didasarkan pada keyakinannya.

Dalam SK yang baru itu tidak disebutkan jilbab tetapi menggunakan istilah lain yaitu seragam khas. Dalam aturannya dinyatakan “Siswi (SMP dan SMA) yang karena keyakinan pribadinya menghendaki penggunaan pakaian seragam sekolah yang khas dapat mengenakan pakaian seragam khas yang warna dan rancangan sesuai lampiran III dan IV. Pada lampirannya bisa dilihat bentuk seragam khas yang dimaksud, yang tidak lain adalah busana muslimah dengan jilbab.

SK itu muncul hanya 6 tahun sebelum Soeharto lengser. Sisanya, hampir selama 26 tahun, penggunaan simbol agama di instansi pemerintahan, sekolah negeri, dan universitas negeri sangat dibatasi.

 

(Baca juga: FAHRI HAMZAH SEBUT DI ZAMAN ORDE BARU PAK HARTO CADAR GAK ADA MASALAH)

 

Sumber Berita Benarkah di Zaman Orde Baru Soeharto Bebas Bercadar seperti Kata Fahri Hamzah? : Kumparan.com