Donald Trump, sang Berandal di Krisis Qatar-Saudi
Bukan Donald Trump jika tak berbuat ulah. Pagi tadi, Rabu (7/6), ia melontarkan cuitan di akun Twitter-nya yang membuat kuping Qatar –yang sedang diblokade negara-negara tetangganya di Arab– luar biasa merah. Tak tanggung-tanggung pedasnya cuitan Trump.
“Menyenangkan melihat kunjungan (saya) ke Arab Saudi untuk bertemu Raja dan 50 negara membuahkan hasil. Mereka (negara-negara Arab) mengatakan akan mengambil langkah tegas untuk pendana terorisme, dan semua menunjuk ke Qatar. Mungkin ini akan menjadi awal dari akhir horor terorisme!”
Ucapan Trump via Twitter –yang dapat diartikan bahwa berkat dialah Saudi cs memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar– amat jauh dari kaidah diplomasi umum, bahkan begitu sembrono sehingga berpotensi menyebabkan kerusakan hubungan lebih parah antara Qatar dan Saudi. Padahal Qatar saat ini tengah berupaya memperbaiki hubungan dengan Saudi melalui mediasi Kuwait.
Cuitan Trump tersebut langsung membuat anak buahnya kelabakan. Seperti dilansir The Guardian, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan AS berupaya keras meminimalisasi kerusakan diplomatik akibat tweet serampangan Trump.
Terlebih, Qatar sesungguhnya menjadi pusat operasi udara militer AS di Arab. Di Qatar, berdiri Al Udeid, pangkalan udara terbesar AS di Timur Tengah. Dari Al Udeid itu, jet-jet tempur AS bertolak untuk menyerang ISIS di Suriah dan Irak.
Ucapan Trump via Twitter itu benar-benar bertolak belakang dengan pernyataannya saat bertemu para pemimpin Timur Tengah di Riyadh, Arab Saudi, termasuk Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad al-Tsani.
Saat berbincang dengan Tamim, Trump mengatakan AS dan Qatar telah menjadi “teman untuk waktu lama” dan mereka membahas pembelian Qatar atas “banyak perlengkapan militer yang memukau.”
Maka kontras ketika selang dua pekan kemudian, setelah Saudi dan sekutu-sekutu Arab-nya memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar, Trump berkoar-koar menunjukkan dukungannya terhadap langkah Saudi atas Qatar.
“Pertunjukan” Trump ini menandakan, entah ia plinplan, munafik, atau seperti yang biasa dilakukan AS: menerapkan standar ganda.
“Tak mungkin Donald Trump menyadari kami menjalankan seluruh perang udara dari Qatar sebelum ia men-tweet,” kata Andrew Exum, Asisten Deputi Menteri Pertahanan AS untuk Kebijakan Timur Tengah pada pemerintahan Obama.
Dalam sebuah siklus yang belakangan menjadi norma harian di Washington, pemerintah AS berusaha untuk mengurangi dampak dari ucapan presiden mereka yang kerap ngawur, dengan mengemukakan kembali kebijakan “versi benar” yang sedang dijalankan, dan mengurangi signifikansi tweet-tweet Trump.
Mau-tak mau, pekerjaan mencuci “baju kotor” Trump ini menjadi kebiasaan baru anak buahnya.
Tak seperti Trump yang menyudutkan Qatar lewat tweet-nya, Pentagon justru memuji Qatar karena telah menjadi tuan rumah bagi pasukan AS di tanah mereka. Juru Bicara Pentagon, Capt Jeff Davis, juga menyanjung Qatar karena memiliki “komitmen abadi terhadap keamanan regional.”
Davis seakan menekankan, posisi Qatar tetap penting bagi AS terlepas dari hubungan diplomatiknya dengan Saudi cs –yang juga sekutu kental AS– yang berada di titik nadir.
“Saya menganggap mereka (Qatar) sebagai tuan rumah bagi basis penting kami di Al Udeid,” kata Davis.
Serupa, Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri AS yang baru, Heather Nauert, juga tetap berterima kasih atas bantuan Qatar selama ini, dan mengatakan bahwa Doha telah melakukan sejumlah langkah untuk memotong aliran dana ke kelompok-kelompok teror.
“Kami menyadari Qatar berupaya menghentikan pendanaan kelompok teror, menuntut pemodal yang menjadi tersangka (pemasok dana teror) dan membekukan aset mereka, serta menerapkan kontrol ketat pada sistem perbankan. Qatar telah mengalami kemajuan dalam hal ini, tapi kami menyadari masih banyak yang perlu dilakukan,” ujar Nauert.
Juru Bicara Gedung Putih, Sean Spicer, tak ketinggalan mencoba mengurangi kerusakan akibat tweet Trump. Ia mengatakan, “Presiden menjalin percakapan yang amat konstruktif dengan Emir Qatar dalam kunjungannya di Riyadh. Saat itu, ia sangat tersentuh dengan komitmen Emir untuk bergabung dengan pusat penargetan dana teroris.”
Sementara seorang mantan pejabat AS prihatin karena memburuknya hubungan dengan Qatar dapat mendorong negara itu membina hubungan lebih dekat dengan Iran –yang merupakan musuh AS dan Saudi.
Ilan Goldenberg, mantan pejabat senior Kementerian Dalam Negeri AS yang kini bertugas di Centre for a New American Security, mengkritik ketidakbijaksanaan Trump dalam menyikapi krisis Qatar.
“AS memiliki banyak pengaruh terhadap Qatar dan mereka tak akan pergi dari kita. Tapi Presiden telah membuang bara ke api. Padahal jika kita hendak membangun koalisi untuk melawan ekstremisme, kita harus mengatasi perbedaan. Namun insiden ini malah akan mengobarkan Qatar,” ujar Ilan. “Trump telah cukup banyak melemahkan upaya diplomatik pejabat-pejabat AS untuk membuat tenang situasi.”
Kelly Magsamen, mantan pejabat senior Pentagon yang kini dosen pembantu di School for Advanced International Studies, Johns Hopkins University, juga menyindir Trump karena “memilih untuk menekan (Qatar) saat kita memulai operasi Raqqa.”
Operasi Raqqa yang ia maksud ialah upaya pembebasan Raqqa di Suriah oleh Pasukan Demokratik Suriah yang disokong Amerika Serikat. Raqqa adalah ibu kota de facto ISIS.
Operasi Raqqa dimulai Senin (5/6), kebetulan berbarengan dengan pemutusan hubungan diplomatik Qatar oleh Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, Yaman, Mesir, Libya, Maladewa, dan Mauritius.
Magsamen menegaskan pentingnya Qatar bagi AS. Pangkalan Udara Al Udeid di Qatar, ujarnya, bukan hanya basis operasi udara AS, tapi juga seluruh sekutu AS yang ambil bagian dalam operasi kontra-ISIS.
Maka cuitan Trump yang serampangan ia anggap sungguh tak tepat. Mendorong Saudi menekan Qatar ialah sesuatu yang gegabah dan berisiko.
Trump sang Presiden AS, di mata para mantan pejabat senior dan anak buahnya sendiri, tak ubahnya seperti berandal yang tak tahu adat.
Beberapa jam setelah Trump menjatuhkan “bom” di Twitter-nya, Presiden Rusia Vladimir Putin menelepon Emir Qatar, menekankan “posisi prinsip Rusia yang mendukung penyelesaian krisis dengan politik dan diplomatik, melalui dialog.”
Hacker Rusia disebut CNN dalam laporannya, menanamkan berita palsu di Kantor Berita Qatar yang berisi ucapan positif Emir tentang Iran dan Israel. Berita palsu inilah yang memicu krisis Doha dan Riyadh.
Berita palsu yang dimuat Qatar News Agency itu memuat ucapan Emir bahwa Iran ialah “kekuatan besar”, bahwa Qatar memiliki “hubungan baik” dengan Israel, dan bahwa “Iran mewakili kekuatan regional dan Islam yang tidak bisa diabaikan.”
Krisis Qatar, yang bagai permainan catur, jauh lebih rumit dari yang diduga.
Sumber Berita Donald Trump, sang Berandal di Krisis Qatar-Saudi : Kumparan.com
Yusril Tunggu Arahan Jokowi Pidanakan Amplop Saksi Palsu Prabowo-Sandi Kuasa hukum paslon 01 Joko Widodo…
Saksi Prabowo Diduga Berbohong, Putri Gus Mus Sebut Bisa Kena Pasal Pidana kan? Beti Kristina…
Polda Jabar Tangkap Ustaz Rahmat Baequni Terkait Sebar Hoaks Petugas KPPS Diracun Ustaz Rahmat Baequni…
Ahok Balas Anies Baswedan soal Penerbitan IMB Pulau Reklamasi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebut…
Hakim MK Minta Bukti DPT Invalid 17,5 Juta, Tim Prabowo-Sandi Minta Waktu Hakim Mahkamah Konstitusi…
Alasan Anies Baswedan Tak Cabut Pergub Reklamasi Ahok Mesti Anggap Tak Lazim Gubernur DKI Jakarta…
This website uses cookies.