DPRD DKI Jakarta: Anies-Sandi Sibuk Produksi Polemik dan Pencitraan

DPRD DKI Jakarta: Anies-Sandi Sibuk Produksi Polemik dan Pencitraan

DPRD DKI Jakarta: Anies-Sandi Sibuk Produksi Polemik dan Pencitraan

Anggota DPRD DKI Jakarta Sereida Tambunan mengatakan, 100 hari kepemimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan-Sandiaga Uno, banyak hal terkait kebijakan dan rencana kebijakannya patut untuk dikritisi dan dievalusi.

Pasalnya, mereka dinilai tidak menjalankan fungsi utama pemerintahan, yakni menjamin ketertiban sosial, menegakkan hukum tanpa diskriminasi, melayani dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Padahal fungsi itulah maka roda pemerintahan dijalankan dengan prinsip Good Governance dan Clean Government.

Sebagai contoh, ia menyinggung soal realisasi rumah DP Rp0 yang tidak sesuai janji kampanye mereka, baik itu dari segi bangunan maupun sistem pembayaran atau angsuran bulanan. Sehingga program ini jauh dari harapan masyarakat karena salah sasaran dan tidak menjangkau masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Padahal Anies-sandi menyebut kebijakan ini diperuntukkan bagi warga DKI Jakarta yang tidak mampu dengan pendapatan dibawah Rp7 juta. Adapun tipe yang ditawarkan adalah type 36 seharga Rp320.000.000 dan type 21 Rp185.000.000.

Sereida menyebut ada beberapa kendala dalam realisasi program ini. Salah satunya terkait Kebijakan Bank Indonesia tentang Kredit perumahan yang mengacu pada PBI nomor 17/10/PBI/2015 yang selanjutnya diubah pada Agustus 2016 tentang Uang Muka Perumahan sebesar 15%.

Dimana rusunami uang muka Rp0 diatas tanah pemprov DKI (PIK Pulo Gadung), dibangun oleh Pemprov DKI, secara hukum tidak bisa diperjualbelikan. Karena itu aset DKI. Kekuatan hukum yang mengaturnya sampai saat ini belum ada. “Siapa yang bertanggungjawab jika terjadi kemacetan pembayaran?” paparnya.

Pada bulan September 2017, Anies menyampaikan bahwa sebanyak 3 juta warga DKI Jakarta berpendapatan dibawah Rp1 juta. Merujuk pada skema yang sering disampaikan Gubernur/Wakil Gubernur, bahwa cicilan rumah ini berkisar antara Rp1,5 juta (Type 21) dan Rp2,6 juta (Type 36) per bulan selama 20 tahun. “Lantas untuk siapa rumah ini dibangun?” ucap Sereida.

Kemudian penataan kawasan Tanah Abang, Sereida menyebut, kebijakan Anies-Sandi menutup jalan untuk dijadikan lokasi berjualan pedagang kaki lima (PKL), telah melanggar tiga aturan, yakni Pasal 28 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 63 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Pasal 27 Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 dan 25 Tahun 2007 Tentang Ketertiban Umum.

Dalam hal ini, Sereida mengatakan jika hak difabel juga dirampas, karena Anies-Sandi mengubah fungsi jalan yang sudah ditandai alat bantu difabel menjadi area berjualan PKL.

“Apakah mendukung hak PKL berarti dapat mengabaikan hak pengguna jalan dan hak kelompok difabel? Lalu dimana dan apa makna keberpihakan menurut Anies-Sandi saat ini?” kata Sereida dalam rilisnya yang diterima NNC, Jumat (2/1/2018).

Kemudian soal Pembentukan Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP). Politisi PDIP ini menilai kebijakan Anies-Sandi tidak mencerminkan prinsip efisiensi, sebab beberapa tugas yang ditetapkan adalah tugas Dinas Teknis dan DPRD.

Tak hanya itu, privatisasi air Jakarta juga mendapat sorotan dari Sereida. Ia mempertanyakan alasan Anies-Sandi belum merealisasikan keputusan MA nomor 31 K/Pdt/2017 pada 10 Oktober 2017 yang membatalkan privatisasi air di Provinsi DKI Jakarta.

Keputusan tersebut memerintahkan penghentian kebijakan swastanisasi air minum yang dijalankan BUMD milik Pemprov DKI Jakarta, PAM Jaya, dengan pihak swasta yaitu PT Aetra Air Jakarta dan PT PAM Lyonaise Jaya (Palyja).

Persoalan lain yakni terkait Kebijakan Kartu Jakarta Pintar Plus (KJP Plus). Dijelaskan Sereida, informasi yang dihimpun dari masyarakat kebijakan ini belum terealisasi dan tidak ada perbedaaan yang signifikan dengan kebijakan sebelumnya. Bahkan, sampai tanggal 22 Januari 2018 lalu, Sekretaris Dinas Pendidikan DKI mengatakan belum ada Peraturan Gubernur yang menjadi Payung hukum bagi pelaksanaan KJP Plus.

Begitupun, lanjut Sereida, program One Kecamatan One Centre Entrepreneurship (Ok Oce) juga belum memiliki payung hukum. Padahal program ini sudah mulai dijalankan di beberapa Kecamatan dengan mengundang masing-masing kelurahan sebanyak 5 orang peserta.

Dari informasi pihak yang pernah ikut, program ini masih pada tahap sosialisasi yang dilakukan kurang lebih selama 2 jam oleh Tim Ok Oce dengan menggunakan fasilitas Pemerintah Daerah.

Dari enam hal di atas, Sereida melihat bahwa 100 hari Kepemimpinan Anies-Sandi belum ada program yang terealisasi, khususnya 3 yang dijanjikan selama kampanye. Sebab, program-program yang di Janjikan pada saat kampanye belum memiliki payung hukum sebagai landasan kerja.

“Lantas pertanyaannya, anggaran kegiatan program program tersebut diatas dari mana? APBD atau Non APBD? Justru yang terjadi selama ini Anies-Sandi menyibukkan diri dengan produksi polemik dan pencitraan,” tegasnya.

Simak video dibawah ini:

https://youtu.be/BUT6YPCVW5s

 

(Baca juga: KOMISI B DPRD DKI NUR AFNI SAJIM KRITIK PELATIHAN OKE OCE HANYA CUAP-CUAP)

(Baca juga: DPRD DKI NGAMUK DAN NILAI ANIES BOHONGIN PUBLIK SOAL TGUPP)

(Baca juga: KETUA DPRD KASIH SINDIRAN MENYAKITKAN KETIKA LIHAT ANIES-SANDI PENCITRAAN MELULU)

(Baca juga: 100 HARI KERJA ANIES-SANDI, PDIP: SARAT ADU DOMBA DAN TABRAK ATURAN)

 

Sumber Berita DPRD DKI Jakarta: Anies-Sandi Sibuk Produksi Polemik dan Pencitraan : Netralnews.com