Inilah Tanggapan Pansus Angket KPK Terhadap ICW

Inilah Tanggapan Pansus Angket KPK Terhadap ICW

Inilah Tanggapan Pansus Angket KPK Terhadap ICW

Indonesia Corruption Watch (ICW) melakukan evaluasi atas kerja-kerja Pansus Hak Angket KPK yang sudah bekerja sekitar dua bulan. ICW menilai mayoritas aktivitas Pansus tak relevan dengan tujuan dibentuknya Pansus.

Mulai dari kunjungan ke Lapas Sukamiskin untuk menemui koruptor hingga mengevaluasi safe house, dianggap hanya upaya mencari kesalahan KPK. ICW mengkritik model kerja Pansus tersebut.

Merespons hal itu, Wakil Ketua Pansus Angket KPK, Masinton Pasaribu, menyampaikan 6 kritikan balik untuk ICW. Pertama, ICW sejak awal selalu tendensius dengan DPR-RI dengan terbentuknya Pansus Angket DPR-RI untuk KPK.

Padahal, DPR sebagai instrumen lembaga tinggi negara melakukan pengawasan dan penyelidikan terhadap kinerja KPK yg melaksanakan fungsi khusus membantu penegakan hukum dalam hal pemberantasan korupsi, yang sudah berusia 15 tahun sejak diundangkannya UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Faktanya, ICW menggugat keabsahan hak konstitusional DPR ke MK. ICW juga menggalang dukungan penolakan Hak Angket, pendukungnya sangat minim. Terhitung aksi-aksi ICW di depan gedung KPK maupun depan gedung DPR cuma diikuti belasan orang,” ucap Masinton dalam keterangan tertulis diterima kumparan, Senin (28/8).

“Penolakan melalui penggalangan media sosial dengan operasi buzzer yang memperbanyak akun-akun anonim juga gagal menggalang dukungan penolakan Hak Angket lewat Twitter dan Facebook,” imbuh politikus PDIP itu.

Konpers "Jangan Lemahkan KPK" di kantor ICW
Konpers “Jangan Lemahkan KPK” di kantor ICW (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)

Kedua, segala tudingan tendensius ICW tehadap Pansus Angket sejak terbentuk hingga sekarang, dinilai tidak satupun terbukti. Contohnya kata Masinton, ICW menuduh Pansus Angket akan memgintervensi proses penanganan kasus e-KTP di KPK. Faktanya hingga saat ini Pansus Angket tidak pernah mencampuri perkara di KPK.

“Ketiga, ICW menuding bahwa kunjungan Pansus Angket DPR ke Lapas Sukamiskin sebagai mencari-cari kesalahan KPK. Faktanya, Kedatangan Pansus Angket adalah untuk mendengar pengalaman orang-orang yang pernah menjalani proses pemeriksaan, penyidikan dan penuntutan oleh KPK yang sudah memperoleh putusan vonis hakim pengadilan Tipikor. Dan Pansus Angket tidak pernah mencampuri putusan dan vonis perkaranya,” papar Masinton.

Keempat, ICW dianggap tidak mengerti dan tidak bisa membedakan antara saksi dan masyarakat yang datang melapor ke Pansus Angket DPR. Saksi yang memberikan keterangan di Pansus Angket adalah yang terlebih dahulu diambil sumpah oleh rohaniawan, contoh Yulianis dan Niko Panji.

Yulianis di DPR
Yulianis di DPR (Foto: Antara Foto/M. Agung Rajasa)

Sedangkan terhadap masyarakat yang datang melapor ke Pansus Angket, wajib diterima karena DPR adalah representasi wakil rakyat yang harus menerima setiap masukan dan kritikan serta laporan dan pengaduan masyarakat, keterangannya tidak di bawah sumpah.

“Contoh, pengaduan korban penembakan Novel Baswedan di Bengkulu yang mencari keadilan datang melapor ke Pansus Angket. Berhubung laporan perkaranya tidak berkaitan dengan obyek penyelidikan Pansus Angket, maka pelaporan korban penembakan Novel Baswedan diteruskan oleh Pansus Angket kepada Komisi III DPR sebagai mitra kerja KPK,” terangnya.

Kelima, ICW disebut tidak memahami tentang safe house atau rumah aman yang disediakan oleh KPK yang melampaui kewenangan yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2006 dengan UU No.31 Tahun 2014 perubahan tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Bahwa seluruh ketentuan standar perlindungan saksi dan korban harus mengikuti standar yang ditetapkan oleh LPSK.

“Faktanya, Niko Panji direkrut oleh penyidik KPK dan ditempatkan di rumah yang kondisinya tidak layak. Niko direkayasa sebagai saksi untuk memberikan keterangan palsu dalam persidangan,” kata Masinton.

Informasi dan data yang dianalisis ICW sebagai penilaian terhadap temuan Pansus Angket, ibarat melihat emas di puncak Monas menggunakan sedotan pipa kecil.– Wakil Ketua Pansus, Masinton Pasaribu.

“Pertanyaaan kritis untuk ICW adalah apakah mereka pernah bersuara lantang mendukung DPR membongkar praktik korupsi dalam Pansus Angket Century dan Pansus Angket Pelindo II?” tanya Masinton.

“Apakah pernah ICW mengkritisi ataupun mempertanyakan KPK memberikan status justice collaborator pada Nazaruddin, sebagai narapidana yg mendalangi 162 kasus korupsi Nazaruddin, justru dijadikan narasumber utama oleh KPK. Bahkan keberadaan aset hasil korupsi Nazaruddin yang katanya KPK sudah disita sejumlah Rp 500 miliar sebagian tidak diketahui keberadaannya,” lanjutnya.

Kunjungan Pansus Hak Angket ke Lapas Sukamiskin
Kunjungan Pansus Hak Angket ke Lapas Sukamiskin (Foto: Dok. Istimewa)

Masinton lalu menyebut ICW sebagai civil society mendapatkan bantuan pembiayaan dari lembaga-lembaga donor dari luar negeri dengan menjual agenda pemberantasan korupsi. Sehingga ICW dianggap membela buta KPK. karena menjadikan KPK sebagai trademark yang laku dijual ke lembaga donor.

“Data yang kami terima, total penerimaan dana hibah ICW dari luar negeri sejak 2005-2014 sedikitnya sejumlah Rp 68 miliar,” tutur Masinton.

“Mari ICW move-on, saatnya bekerja untuk memperjuangkan agenda pemberantasan korupsi yang berpihak pada kepentingan negara Republik Indonesia. Jangan terus menerus menjadi mata, telinga dan otot kepentingan asing yg beroperasi di Indonesia,” kritiknya.

KPK Negara Hongkong (ICAC) adalah model pemberantasan korupsi yang berhasil dan selalu menjadi contoh buat lembaga anti korupsi negara-negara lainnya termasuk KPK Indonesia.

Karena keberhasilan ICAC (KPK Hongkong), dalam kurun waktu 8 tahun sejak dibentuk tahun 1974, pada tahun 1982 KPK Hongkong berhasil melakukan penindakan yang dibarengi dengan pencegahan dan pembangunan sistem anti korupsi yang kokoh di negaranya.

“Usia KPK Indonesia sudah berjalan 15 tahun, indeks persepsi korupsi Indonesia tidak beranjak dari skor 100. Kita tertinggal jauh dari negara tetangga dekat kita seperti Malaysia dan Brunei yang skor indeks persepsi korupsi negaranya di angka 40 dan 50,” paparnya.

Apalagi membandingkan dengan Singapura yang skornya hanya belasan. Karena agenda pemberantasan korupsi adalah tanggung jawab seluruh elemen bangsa dan bukan hanya milik KPK dan segelintir kelompok yang menjadikan agenda pemberantasan korupsi sebagai komoditas dagang ke lembaga donor negara asing.

“Mari kita benahi agenda pemberantasan korupsi di negara kita yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan untuk rakyat Indonesia,” tutupnya.

 

Sumber Berita Inilah Tanggapan Pansus Angket KPK Terhadap ICW : Kumparan.com