Nama Saja Yang Warga Ibu Kota, Tapi Warga Jakarta Tidak Secerdas London

Nama Saja Yang Warga Ibu Kota, Tapi Warga Jakarta Tidak Secerdas London

Nama Saja Yang Warga Ibu Kota, Tapi Warga Jakarta Tidak Secerdas London

Fenomena Shadiq Khan yang keturunan Pakistan dan Muslim terpilih di London, tapi Basuki Tjahaja Purnama yang keturunan Tionghoa dan Kristen tidak menang di Jakarta meskipun sudah berbuat banyak untuk warga Jakarta.

Karena: Nama saja yang anak kotaan tapi banyak warga Jakarta tidak secerdas warga London. Ini masalahnya. Dan dengan demokrasi kita tahu kualitas
Warga kita.

Seandainya sama..

Anakku Kirana,
Tahukah kau seseorang bernama Sadiq Aman Khan dari negeri yang ribuan mil jaraknya pada tempatmu berpijak kini. Ibu ceritakan sedikit nak.

Bayangkan menjadi seseorang berkulit gelap sangat Asia, keturunan immigran, dan seorang Muslim pula di negara yang kesohor menjunjung tinggi kebanggaan sebagai bagian dari masyarakat kulit putih, Anglo Saxon, dan Protestant. Mereka bahkan punya sebutan keren untuk itu, WAP. Seorang penulis kenamaan dari negeri tempat Sadiq Khan dibesarkan, yang menjadi bagian dr stigma WAP seumur hidupnya, bahkan menyindir betapa buruknya kecendrungan memuja diri dan garis keturunan itu lewat tokoh penyihir jahat bernama Tom Riddle alias Lord Voldemort.

Sadiq bukan juga keturunan immigran kaya. Dalam sebuah memoar yang ditulis seorang jurnalis kantor berita BBC, Sadiq lahir di kota sepi bernama Tooting di Selatan London 8 Oktober 1970. Tinggal dalam flat kecil dengan hanya tiga kamar untuk 11 penghuni rumah, kedua orangtuanya dengan delapan anak. Bayangkan setiap kemungkinan perundungan yang bisa saja diterima Sadiq kecil sebagai minoritas, fisik maupun mental, atas perbedaan yang jadi takdir kelahirannya. Ibu tidak bisa nak, karena seumur hidup Ibu tidak beranjak jauh dari tanah yang menjadikan ibu seorang mayoritas mutlak. Tapi ibu bisa merasakan stigma atas hal berbeda yang berkembang subur di kalangan mayoritas itu, jadi ibu tahu rasanya pasti tidak enak jadi minoritas.

Satu hal yang menggugah soal Sadiq Khan, ia tidak pernah menyinggung rasisme dan perundungan yang jadi bagian kelam masa kecilnya itu. Sampai-sampai ia dan saudara-saudaranya mesti berlatih di Earlsfield Amateur Boxing Club demi membela diri. Hal yang paling ia ingat tentang masa kecilnya justru kedua orang tua yang kerap bekerja hampir sepanjang waktu. Ia katakan dengan bangga kepada wartawan yang menulis memoarnya, “Karena kami diberkahi dengan berhasil tinggal di Negeri ini, maka kedua orang tua saya secara regular tetap mengirim uang ke Pakistan, negara asal kami. Karena itu saya sangat bangga ketika mendapat pekerjaan pertama sebagai loper Koran ketika kanak-kanak, dan kuli bangunan di musim panas ketika remaja.” Bisa kau lihat nak, seperti inilah kira-kira baja yang tertempa api sampai melampaui titik leburnya.

Ketika di sekolah dasar, guru pembimbing Sadiq dengan jelas melihat potensinya dan menyarankan Sadiq untuk menjadi seorang dokter gigi. Tapi Sadiq lebih tertarik jadi pengacara khusus bidang kemanusiaan, mungkin akibat akumulasi perundungan seumur hidupnya ia ingin menjadi seorang pembela. Ranah karir yang berhasil dijejaknya pada usia 21 tahun.

Ayah Sadiq, Amanullah Khan merupakan seorang supir bus, selama lebih dari 25 tahun hidupnya, pekerjaan yang menurut Sadiq dijalankan sang ayah dengan penuh kebanggaan. Tahukah kau nak, Sadiq menjadi Menteri Negara bidang Transportasi pada usia 39 tahun, di 2009 silam. Setahun sebelumnya ia ditunjuk sebagai Minister of Community pada Gordon Brown kabinet reshuffle.

Tahukah kau dimana Sadiq sekarang nak? Ia di ibukota negeri dengan koloni paling banyak di dunia itu. Menempati kantor yang beralamat di The Queen’s Walk, London SE1 2AA, UK alias London City Hall. Iya nak, ibu bercerita tentang Sadiq Khan yang memenangi London election 5 May 2016 itu. Mayor Muslim pertama di seantero Britania Raya yang terpilih menjadi walikota tepat di saat Islamophobia merebak di eropa barat, dan negara-negara mayoritas kristiani lainnya. Islamophobia yang memang sudah bersemayam sejak lama dan dipicu menjelma usai serangan teroris mengatasnamakan Islam di Paris 13 November 2015. Peristiwa bom bunuh diri, penembakan, dan penculikan yang menggegerkan satu dunia.

Bagaimana kiranya sebagai seorang Muslim Sadiq Khan bisa men-counter segenap isu dan stigma yang menunjuk langsung pada keberadaanya selama masa kampanye itu? Ibu tidak tahu nak, yang ibu tahu Sadiq yang mewakili partai buruh memenangkan election dengan 44% suara, selisih hampir 9% dari lawannya Zack Goldsmith dari partai konservatif yang notabene mewakili segenap unsur dalam WAP dengan perolehan suara sekitar 34%.

Bayangkan nak jika penduduk London serupa Jakarta hari-hari belakangan ini…

Bayangkan jika mereka melancarkan tudingan keji berulang-ulang atas Sadiq Khan, menjadikannya seorang pesakitan hukum atas nama penistaan agama, lalu mengharamkan setiap kristiani untuk berpihak padanya.

Bayangkan bila setiap immigran di London bahkan Inggris tidak boleh menduduki jabatan strategist di pemerintahan maupun berbagai perusahaan. Atau bahkan lebih buruk lagi dapat dideportasi paksa ke negara masing-masing dengan berbagai alasan yang dibuat-buat atas nama stigma dan jelmaan rasisme yang mendarah daging.

Demi Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, tidak bisa ibu membayangkan betapa buruk dan nestapanya dunia sampai itu terjadi nak.
Kabar baik sekaligus buruknya, London bukan Jakarta nak. Penduduk London lebih tercerahkan untuk memilih seorang Sadiq Khan atas dasar rekam jejak serta pribadinya sebagai seorang yang pantas dan mampu mengatur serta memimpin kota mereka jadi lebih baik, sebagai seorang pelayanan publik yang mumpuni.

Seandainya sama…

Meskipun punya kebanggaan tersendiri atas takdir sebagai seorang WAP tetapi mayoritas penduduk London dibesarkan di masyarakat dengan kecendrungan pendidikan tinggi selama ratusan tahun, salah satu universitasnya bahkan lebih tua daripada peradaban Inca. Kota ini sempat menjadi centre of excellence di bidang pengetahuan sejak jaman Nenek moyangnya. Selain itu sebagai seorang British, mayoritas penduduk London merupakan traveler dan penjelajah sejati. Dalam hal ini nak, menjadikan mereka sekaligus bisa mentoleransi SARA, meskipun sendirinya rasis. Ikhwal yang semoga bisa dikejar Jakarta tidak lama lagi. Sebagai seorang optimist, ibu berharap banyak pada generasimu nak, semoga akan sama saat itu..

Pamulang, 20 April 2017
Untuk anakku Kirana.

Maafkan atas segala kekurangan ibu dan generasi ibu. Maafkan atas beratnya segenap harapan yang ibu titipkan di atas pundak mungilmu itu.

Soraya Bunga Lestari

 

Sumber Berita Nama Saja Yang Warga Ibu Kota, Tapi Warga Jakarta Tidak Secerdas London : Gerilyapolitik.com