Perang Bintang di Sumut, PDIP Promosikan Nama dan Prestasi Djarot

Perang Bintang di Sumut, PDIP Promosikan Nama dan Prestasi Djarot

Perang Bintang di Sumut, PDIP Promosikan Nama dan Prestasi Djarot

Rencana pengusungan mantan Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat sebagai bakal calon Gubernur Sumatera Utara disebut sebagai pertaruhan besar PDIP. Selain memiliki suku mayoritas yang berbeda dengan Djarot, Sumut pun sudah memiliki dua kandidat kuat kepala daerah. Namun, faktor nama dan prestasi jadi modal Djarot untuk bertarung di Pilgub Sumut 2018.

Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI) Wasisto Raharjo Jati, saat dihubungi CNNIndonesia.com pada Kamis (4/12), mengungkapkan, Djarot akan menghadapi sejumlah tantangan besar di Sumut.

Pertama, faktor lawan berat di Pilgub Sumut 2018. Hal ini akan memicu ‘perang bintang’ di Sumut.

Diketahui, setidaknya sudah ada dua bakal calon lawan Djarot di Sumut. Yakni, mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Letjen Edy Rahmayadi dan petahana Gubernur Sumut Tengku Erry Nuradi. Keduanya merupakan putra asli Sumut.

“Ini semacam pertaruhan politik luar biasa bagi PDIP. Dari dua kandidat lainnya, Tengku Erry dan Pangkostrad Edy, merupakan putra asli Sumut, sedangkan Djarot itu dari Jawa,” ucap Wasisto.

Menurutnya, kedua pesaing Djarot itu punya keunggulan masing-masing. Sebagai petahana, Tengku Erry memiliki modal jaringan birokrasi di daerah tersebut. Sementara Edy pernah menjabat sebagai Pangdam Bukit Barisan yang membawahi wilayah Sumut, juga bisa saja memanfaatkan jaringan intelejen di wilayah tersebut untuk meraih kemenangan.

Perang Bintang di Sumut, PDIP Jualan Nama dan Prestasi Djarot
Kandidat Gubernur Sumut yang diusung PDIP, Djarot Saiful Hidayat, di Kantor DPP PDIP,

Kedua, faktor mayoritas suku Batak. Diketahui, Sumut didominasi oleh suku batak (41,93 persen). Di bawahnya ada suku Jawa (32,62 persen), suku Nias (6,36 persen), Melayu (5,92 persen), Tionghoa (3,07 persen). Sementara, Djarot berasal dari suku Jawa.

Bagi Wasisto, langkah PDIP mengusung Djarot di Sumut ini merupakan hal yang di luar kebiasaan parpol dalam pilkada yang sering mengusung sosok sesuai dengan mayoritas daerah setempat.

“Biasanya dalan konteks politik lokal, mereka para partai akan memasang tokoh asli daerah, memasang figur primordial atau agama yang dominan di daerah itu. Nah ini figurnya (Djarot di Sumut) anti-mainstream,” ungkapnya.

Meskipun demikian, lanjutnya, faktor suku tak selalu menentukan. Sebab, suku Batak belum pernah terpilih sebagai penguasa di wilayah tersebut sejak pemilu langsung dilakukan.

“Mayoritas (suku) Batak belum pernah jadi gubernur,” ujarnya. Terlebih, warga Sumut sudah terbiasa dengan pemimpin yang berlatar suku Jawa, seperti Gatot Pujo Nugroho yang menjadi Gubernur Sumut periode 2011-2015 dan Wagub Sumut periode 2008-2011.

Namun demikian, kata Ketua Pusat Studi Keamanan dan Politik Universitas Padjadjaran Muradi menambahkan, Djarot bukannya tanpa peluang. Setidaknya, ada dua modal utama yang dimiliki Djarot dalam menghadapi Pilgub Sumut 2018.

Pakostrad, Letjen TNI Edy Rahmayadi.

Pertama, ketokohan Djarot yang sudah dikenal secara nasional. Menurutnya, hal ini akan memudahkan PDIP menyaingi dua lawan berat Djarot itu.

Kedua, pengalaman Djarot di pemerintahan dan pilkada dalam menghadapi politik bernuansa Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan (SARA). Hal ini terjadi saat ia bersama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok maju di Pilkada DKI 2017.

“Dia memahami model politik yang berbau SARA dan sebagainya,” ucap Muradi.

Ketiga, basis suara yang cukup potensial. Sebab, lebih dari 30 persen penduduk Sumut adalah suku Jawa. Hal ini membuat nama Djarot tidak akan asing di Sumut meski bukan seorang putra asli daerah.

Keempat, prestasi dan pengalaman Djarot di dalam birokrasi, serta tak terindikasi kasus korupsi.

“PDIP berusaha menginisiasi kandidasi yang berbasis best practices. Kan Djarot katakanlah berhasil di Blitar dan sebagai Wagub di DKI. Nah, menurut saya semangat best practices itu yang mau dibawa ke Sumut,” timpal Wasisto.

Diketahui, Djarot Saiful Hidayat pernah menjadi Wali Kota Blitar dua periode 2000-2005 dan 2005-2010, Wakil Gubernur DKI Jakarta 2014-2017, dan Gubernur DKI Jakarta 2017.

Saat di Blitar, Djarot dikenal karena penataan pedagang kaki lima. Selain itu ia mendapat penghargaan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah di tahun 2008, Penghargaan Terbaik Citizen’s Charter Bidang Kesehatan Anugerah Adipura pada 2006, 2007, dan 2008.

Pada saat menjabat di DKI, duetnya dengan Ahok mendapat ragam apresiasi publik dan tingkat kepuasan yang cukup tinggi dalam sejumlah survei. Sebabnya, ada perbaikan pelayanan birokrasi kepada warga di era keduanya.

Siasat Wakil

Muradi melanjutkan, keunggulan-keunggulan di atas itu bisa dimanfaatkan dengan optimal jika ramuan strategi yang digunakan Djarot dan PDIP tepat. Salah satunya, strategi pemilihan pendamping.

Ia menilai, kans Djarot untuk menang akan tipis jika memilih wakil yang berasal dari luar Sumut. Nama yang disebutnya cocok mendampingi Djarot adalah politikus PDIP Maruarar Sirait dan pengusaha lokal Sihar Sitorus.

Gubernur Sumatra Utara Tengku Erry Nuradi berjalan meninggalkan ruangaan seusai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (14/7). Tengku Erry diperiksa sebagai saksi terkait dugaan kasus suap kepada anggota DPRD Sumut.
Gubernur Sumatra Utara Tengku Erry Nuradi, seusai diperiksa sebagai saksi kasus suap anggota DPRD Sumut, di Gedung KPK, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Nama terakhir dinilainya cocok mendampingi Djarot karena dianggap bisa melancarkan jalan politik Djarot. Selain bisa memberi dukungan dana politik, sebagai pengusaha, Sihar juga dipandang memiliki banyak bawahan yang berpotensi jadi kantung suara Djarot.

“Politik kan butuh juga pelicin seperti itu,” aku Muradi.

Pengamat politik dari Exposit Strategic Arif Sutanto menambahkan, Djarot memiliki peluang melalui strategi koalisi parpol. Sebab, Partai Golkar masih belum memastikan untuk mengusung Tengku Erry Nuradi, sedangkan Hanura belum menegaskan dukungannya kepada Edy.

Sementara, PDIP, yang memiliki 16 kursi di DPRD Sumut, masih membutuhkan tambahan empat kursi agar bisa mengusung Djarot, sekaligus mendapat tambahan bantuan mesin politik guna bertarung di Pilgub Sumut 2018.

“Jadi peluang koalisi masih terbuka,” tandasnya.

 

Sumber Berita Perang Bintang di Sumut, PDIP Promosikan Nama dan Prestasi Djarot : Cnnindonesia.com