Amien Rais dan Wajah Muram Istana Kertanegara Terkait ‘People Power’
Sejarah politik Indonesia masih merekam dengan baik betapa dahsyatnya kekuatan rakyat yang tertindas, ketika mereka bergerak bersama melawan penguasa.
Pada 21 Mei, 21 tahun lalu, setelah gelombang demonstrasi di pelbagai tempat, ribuan mahasiswa dan rakyat yang menduduki Gedung DPR RI berhasil memaksa rezim militer Soeharto mengakhiri kekuasaannya yang bertahan selama 32 tahun.
Hari ini kenangan indah tentang ‘people power’ itu coba dibangkit-bangkitkan.
Pencetusnya adalah begawan politik Amien Rais, yang mengancam akan mengerahkan kekuatan rakyat pada 22 Mei, tepat di hari pengumuman hasil penghitungan suara Pilpres 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum. Belakangan Amien mengubah frasa itu jadi Gerakan Kedaulatan Rakyat.
Pemerintah dibuat kalang kabut. Dan memang demikianlah takdir sebuah frasa bernama ‘people power’. Dia dicipta untuk menularkan virus kepanikan kepada setiap rezim pemerintahan.
Sejarah mencatat di sejumlah negara lain, gerakan massa oposisi yang murni berakar dan digerakkan oleh rakyat berhasil menyudahi kekuasaan rezim. Peristiwa Mei 1998 di Indonesia, Filipina 1986, dan Mesir 2011 lalu hanya sedikit dari sekian keberhasilan perlawanan rakyat terhadap penguasa.
Amien Rais mungkin tergoda oleh fakta sejarah tersebut. Tetapi Amien lupa, ‘people power’ bukan sebuah juklak atau juknis tentang bagaimana menjatuhkan sebuah rezim. People power adalah sebuah substansi.
Substansi people power ada pada kekuatan dan pelibatan rakyat. Substansi itu, sayangnya, tak terkandung dalam frasa ‘people power’ yang digaungkan oleh Amien Rais dan kawan-kawan.
Rakyat yang absen dalam ‘people power’ versi Amien Rais bisa dilacak dari asal usul lahirnya wacana tersebut, kondisi struktural yang melatarbelakanginya, hingga rekam jejak orang-orang yang hari ini menggaungkan ‘people power’.
‘People power’ versi Amien Rais, alih-alih berakar dari rakyat justru keluar dari mulut para elite yang hampir dipastikan menjadi pecundang di Pilpres 2019.
Penulis memaknainya tak lebih dari suatu pembajakan atau manipulasi dari para elite yang gagal merebut kekuasaan lewat mekanisme konstitusional.
Sesuatu yang lahir dari rakyat harus lebih dulu menjadi sebuah bahasa atau wacana bersama. Dan untuk menjadi bahasa bersama, sebuah frasa atau konsep mestilah hidup atau menjadi problem intens di setiap keseharian rakyat.
Faktanya, ‘people power’ tak pernah jadi bahasa keseharian rakyat.
Tak Ada Krisis
Setidaknya hingga sebelum Pilpres 2019. Dengan kata lain tak ada kesulitan-kesulitan ekonomi dan politik yang gawat, yang bisa memandu rakyat menemukan dan memaknai frasa people power sebagai solusi keluar dari kesulitan mereka.
Indonesia tidak dalam krisis. Benar bahwa harga kebutuhan pokok terkadang mencekik, namun selalu bisa dikendalikan lewat beragam formula kebijakan pemerintah.
Ketimpangan pun ada. Akan tetapi pemerintah berusaha meredam efek-efek destruktif ketimpangan. Misalnya, dengan mempertahankan jaring pengaman kesehatan seperti BPJS, meski terus merugi sepanjang tahun. Pemerintah juga memberikan bantuan pendidikan lewat Kartu Indonesia Pintar, dan sejumlah subsidi lain.
Berbagai kebijakan itu jelas bukan tanpa kritik.
Pemerintahan Joko Widodo pun tak luput dari cela. Namun, tak dapat dipungkiri, berbagai kebijakan itu sedikit banyak turut andil mencegah ‘people power’ menjadi bahasa keseharian sekaligus hasrat politik rakyat.
Watak elitis people power versi Amien Rais juga tercermin dari elite-elite yang rajin mempropagandakan frasa itu.
Elitisme ini diorkestrasi oleh tokoh reformasi Amien Rais, yang karena impian-impian politiknya rela bersekutu dengan elite-elite produk Orde Baru yang pernah ia kecam habis-habisan di masa lalu.
Di gerbong VIP ada Prabowo Subianto. Tuan tanah yang menjelma jadi tokoh politik terkemuka.
Prabowo adalah cermin politikus sejati. Dia rela bicara ketimpangan ketika di saat bersamaan menguasai ribuan hektare lahan di seantero negeri. Di samping Prabowo ada Sandiaga Uno, pengusaha yang tengah merintis kekuasaan politik.
Ketiga tokoh ini dikelilingi para elite dan pemodal yang tak dapat jatah atau terlempar dari kekuasaan. Mencari-cari kepentingan rakyat dalam barisan elite politik dan oligark ekonomi ini ibarat mencari jarum di tumpukan jerami.
Untuk membuktikannya, orang cukup melihat isu apa yang memantik wacana ‘people power’.
‘People power’ sebagai gerakan rakyat selalu mensyaratkan sebuah isu bersama seperti kemiskinan, keadilan, ketimpangan sosial. Tapi tidak demikian yang terjadi hari ini. ‘People power’ versi Amien Rais adalah wacana yang dipantik oleh kekecewaan karena kalah pemilu.
Kekalahan oligarki dikemas sedemikian rupa menjadi kekalahan rakyat. Maka, sim salabim, munculah wacana people power dari mulut Amien Rais.
Prabowo-Sandi bukannya abai menyuarakan isu kerakyatan seperti kemiskinan, keadilan, lapangan kerja, dan lain-lain. Hanya saja, isu-isu itu dilontarkan saat masa kampanye demi mendulang suara pemilih.
Setelah pencoblosan isu itu tenggelam ditelan bumi.
Yang muncul kemudian adalah isu tentang kecurangan pemilu yang direproduksi berulang-ulang dengan beragam teknik dan medium.
Padahal, ketika diminta membuktikan kecurangan, Prabowo-Sandi tak pernah bisa menyajikan bukti meyakinkan bahwa ada kecurangan sistematis, terstruktur, dan masif dalam Pemilu 2019.
Dengan isu pemantik yang elitis itu tak heran jika wacana ‘people power’ ala Amien Rais tak pernah bisa merangkul semua elemen rakyat.
Sementara di lapangan, wacana itu gagal merangkul elemen lain. Sebut saja misalnya elemen serikat buruh secara luas, gerakan di akar rumput, atau lembaga swadaya masyarakat prodemokrasi.
‘People power’, barangkali hanya bergaung di ‘Istana’ Kertanegara yang semakin dingin nan muram.
Baca juga: Fadli Zon Sebut Rencana Demo 22 Mei Ditakuti Isu Bom, Ini Respons Polisi
Sumber Berita Amien Rais dan Wajah Muram Istana Kertanegara Terkait ‘People Power’: Cnnindonesia.com